Ini cerita lanjutan saya tentang Nusa Tenggara. Kali ini saya ingin membahas kolonisasi pulau-pula ini oleh hewan-hewan purba, dari stegodon (gajah kerdil) sampai komodo yang suka dianggap sebagai turunan hewan purba. Stegodon relatif cukup sering ditemukan di pulau-pulau Nusa Tenggara, penemuan-penemuan fosil-fosilnya masih terus terjadi sampai baru-baru ini, terutama di Flores. Sementara komodo, kita sampai sekarang pun masih bisa menyaksikannya di beberapa pulau di antara Sumbawa dan Flores.
Penyebaran hewan-hewan purba ini, baik yang sudah punah seperti stegodon maupun yang masih hidup seperti komodo, seluruhnya dikontrol oleh geologi, sehingga pembahasan ini masih berhubungan dengan artikel saya sebelumnya, evolusi geologi Nusa Tenggara.
Saya akan mengaitkannya juga ke Sulawesi (selatan) sebab di Sulawesi pun ditemukan fosil stegodon, kita akan melihat apakah mereka berhubungan. Artikel ini pun akan sekaligus membahas masalah biogeografi Indonesia bagian tengah, yang lebih terkenal sebagai wilayah Wallacea.
APAKAH WALLACEA?
Wallacea adalah suatu nama wilayah di bagian tengah Indonesia gagasan Dickerson (1928) yang di sebelah barat dibatasi oleh Garis Wallace (1863), di sebelah timur dibatasi Garis Lydekker (1896) - lihat gambar terlampir. Garis Wallace membatasi tepi timur penyebaran fauna Asiatik/ Oriental, sedangkan Garis Lydekker membatasi tepi barat fauna Australis. Secara geologi tepi-tepi ini masing-masing berhubungan dengan tepi Sunda Land dan Sahul Land. Di daerah Wallacea-lah terjadi percampuran dua dunia fauna Asiatik dan Australis.
Nama Wallacea tentu kita bisa duga, yaitu berasal dari Alfred Russel Wallace, naturalist Inggris yang menjelajah alam Indonesia selama delapan tahun (1854-1862). Daerah Wallacea adalah daerah yang sangat rumit dalam geologi Indonesia, banyak mikrokontinen, continental sliver, oceanic plateaux, ofiolit, baik secara in-situ maupun ex-situ yang berasal dari berbagai area asal dipindahkan ke sini. Laut-laut paling dalam Indonesia dan pembusuran (arching) Banda terjadi di sini juga. Endemisme fauna Indonesia paling tinggi berasal dari daerah Wallacea, sebut saja misalnya keberadaan komodo, babirussa, anoa, dan maleo; yang berasal dan hidup hanya di daerah Wallacea, tidak ada di bagian dunia yang lain.
Wallace sendiri pernah menduga bahwa percampuran dan endemisme fauna di wilayah tengah Indonesia itu sebagai akibat proses-proses geologi. Di depan Linnean Society di London pada tanggal 3 November 1863, Wallace menyampaikan sebuah makalah berjudul ""On the Zoological Geography of the Malay Archipelago", dan dia berkata, "Facts such as these can only be explained by a bold acceptance of vast changes in the surface of the earth." Pikiran Wallace ini berarti 120 tahun lebih awal ketika dengan melalui plate tectonics terbukti dengan meyakinkan untuk pertama kalinya bahwa area Wallacea adalah area benturan antar-mikrokontinen (Hamilton, 1979). Area benturan mikrokontinen, area benturan antar-fauna juga.
Saya tahun 2011 di pertemuan IAGI dan HAGI di Makassar mendetailkan masalah di atas melalui makalah berjudul “Sulawesi: Where Two Worlds Collided - Geologic Controls on Biogeographic Wallace's Line”. Beberapa hal dalam tulisan ini saya ambilkan dari makalah tersebut.
STEGOLAND – LAND OF STEGODON, ADAKAH?
Dalam artikel ini, saya ingin mengulas sedikit tentang gagasan terkenal dalam dunia paleontologi vertebrata/mamalia Indonesia berasal dari D.A. Hooijer (1957, 1967), ahli paleontologi vertebrata berkebangsaan Belanda yang pernah bekerja di Indonesia, yang konsepnya bernama "Stegoland". Berdasarkan penemuannya atas fosil-fosil gajah kerdil Stegodon di berbagai pulau di Indonesia (Sangihe, Sulawesi, Jawa, Flores, Sumba, Timor).
Bagaimana Stegodon yang berumur Plistosen Tengah-Plistosen Akhir ini (1,8-1,0 Ma, - van den Bergh, 2000) ditemukan di berbagai pulau tersebut yang sekarang terpisah cukup jauh satu sama lain? Hooijer berpendapat bahwa dahulu Nusa Tenggara-Jawa-Sulawesi dihubungkan oleh suatu jembatan daratan yang disebutnya "Stegoland", di sepanjang jembatan daratan itulah Stegodon berjalan. Lalu karena aktivitas tektonik dan fluktuasi muka laut pada Holosen, jembatan ini tenggelam.
Land bridges atau jembatan daratan adalah pulau-pulau kontinen yang muncul karena muka laut susut. Area ini muncul di atas laut dan menjadi jembatan daratan yang digunakan fauna bermigrasi. Indonesia kaya akan land bridges. Disertai sejarah fluktuasi muka laut yang kompleks, jembatan daratan ini muncul atau tenggelam. Lombok dan Sumbawa pernah bersatu, bukan karena Selat Alas di antaranya belum ada, selat itu ada tetapi tersingkap dasarnya akibat susut muka laut. Flores, Adonara, Lomblen, Pantar pernah bersatu, Rote menjadi satu dengan Semau dan Timor. Sula dan Banggai, Bacan dan Halmahera, Tanah Jampea-Salayar-Doang-Kangean-Madura adalah contoh-contoh jembatan daratan.
Konsep Hooijer ini mendapat tantangan dari beberapa ahli paleontologi yang datang lebih kemudian, misalnya Gert van den Bergh (yang juga beberapa kali berkarya di Indonesia). Gert yang belum lama ini (2009) membantu Tim Paleontologi Vertebrata Badan Geologi dalam penelitian penemuan gajah purba di Blora menyebutkan bahwa konsep Hooijer tak bisa diterima, gajah-gajah kerdil itu berenang, bukan berjalan melalui jembatan daratan.
PENGUJIAN ATAS HOOIJER (1957, 1967) Vs. VAN DEN BERGH
Dalam makalah saya itu, (Satyana, 2011 - “Sulawesi: Where Two Worlds Collided - Geologic Controls on Biogeographic Wallace's Line”) saya menguji tesis Hooijer dan antitesisnya dari van den Bergh.
Saya memuat model paleogeografi Sulawesi dan sekitarnya yang dibuat oleh Moss dan Wilson (1998) serta fluktuasi muka laut di pulau-pulau Indonesia Timur dari Tjia (1996) pada Pliosen-Holosen, lalu menggunakannya untuk meneliti konsep Hooijer (1957) tentang Stegoland.
Beberapa citra satelit yang dalam zaman Hooijer (1957) belum ada, saya lihat juga untuk memeriksa adakah jembatan daratan antara Timor-Sumba-Flores-Jawa-Sulawesi-Sangihe pada sekitar Pliosen-Plistosen - Holosen. Dari model-model dan data satelit itu dapat diketahui bahwa kemungkinan jembatan seperti yang dimaksud Hooijer (1957) kelihatannya ada walaupun memang sekarang sudah tenggelam. Berdasarkan hal ini, bisa diduga bahwa Stegodon telah bermigrasi sepanjang Stegoland.
Bagaimana kemungkinan Stegodon itu berenang bukan melalui jembatan daratan Stegoland, seperti kata van den Bergh. Stegodon betul bisa berenang, tetapi ia berenang tak lebih dari 30 km (Monk et al.1997). Bila sekarang ada fosil Stegodon ditemukan di suatu pulau, dan pulau-pulau di sekitarnya jauhnya lebih dari 30 km, maka bisa diduga bahwa dulu Stegodon tersebut pindah ke pulau tempat fosilnya ditemukan kemudian adalah melalui jembatan daratan, bukan berenang.
Stegodon telah ditemukan di Sulawesi dan Nusa Tenggara. Sulawesi dihubungkan oleh jembatan daratan sekitar Doang-Tanah Jampea-Salayar dengan Sundaland atau Nusa Tenggara. Ke arah Sulawesi Selatan itulah, tepatnya Lembah Walanae, pada Pleistosen, beberapa fauna dari Sundaland dan Nusa Tenggara bermigrasi, dan kini di dunia paleontologi vertebrata kumpulan migrated fauna di lembah ini disebut Kelompok Cabenge, Sulawesi Selatan. Berdasarkan hal itu,
saya membenarkan tesis Hooijer (1957, 1967) bahwa Stegoland itu pernah ada di antara Nusa Tenggara, Jawa dan Sulawesi.
TEORI BIOGEOGRAFI PULAU – ISLAND BIOGEOGRAPHY: DWARFISME & GIGANTISME
Stegodon –gajah kerdil, komodo – biawak raksasa, Homo floresiensis –manusia purba kerdil, Anoa – kerbau kerdil; bagaimana semuanya itu bisa terjadi di wilayah-wilayah yang pernah terisolasi seperti di Nusa Tenggara dan Sulawesi?
Jumlah spesies yang terdapat dalam sebuah wilayah yang menjadi habitat (tempat hidup) spesies tersebut berkaitan erat dengan luas wilayah habitat spesies itu. Semakin luas area semakin banyak spesiesnya, semakin sempit area semakin sedikit spesiesnya. Itulah inti teori biogeografi pulau/ island biogeography (Williamson, 1981).
Teori ini punya dua komponen: island dwarfism (pengerdilan di pulau) dan island gigantism (peraksasaan di pulau). Secara sederhana, island dwarfism mengatakan bahwa hewan besar dari daratan utama/induk yang pindah ke pulau lebih kecil akan mengalami pengerdilan karena keterbatasan makanan dan ruang gerak; sementara itu hewan-hewan kecil di pulau itu lalu akan membesar (island gigantism) karena ketiadaan pemangsa.
Kedua komponen ini telah dipenuhi secara memuaskan di Flores dan sekitarnya. Homo floresiensis, jenis hominid kerdil yang ditemukan di Flores pada tahun 2004 mungkin merupakan produk island dwarfism Homo ngandongensis atau Homo sapiens awal - Manusia Wajak yang bermigrasi ke sana, sementara komodo di sekitarnya adalah produk gigantisme kadal atau biawak.
Kemudian pulau-pulau ini terisolasi, sehingga membatasi aliran gen (genetic drift) dari daratan utama ke pulau-pulau ini. Terhentinya genetic drift akan memicu endemisitas. Stegodon, komodo, anoa, babirussa, burung maleo adalah fauna-fauna endemik. Stegodon di Flores, Sumba, Timor, Walanae, dan Sangihe mungkin adalah produk genetic drift dari gajah besar Asia (Siwalik-India) dari Jawa dan Kalimantan melalui jembatan daratan Stegoland lalu mengalami pengerdilan di pulau baru yang ditempatinya yang lebih kecil dan terisolasi. Pengerdilan juga mungkin terjadi atas kerbau dari Jawa/Kalimantan yang menjadi anoa di Sulawesi.
KOMODO: PRODUK GIGANTISME ATAU DWARFISME?
National Geographic Channel pernah menayangkan film dokumenter bahwa komodo yang sekarang ada di beberapa pulau di antara Sumbawa dan Flores itu (Komodo, Rinca, Padar) berasal dari nenek moyang yang berukuran raksasa yang berasal dari Australia. Tetapi dikarenakan jembatan daratan tertutup maka para komodo tersebut terisolasi sehingga terjadi penurunan kuantitas (jumlah dan ukuran binatang buruan) makanan sehingga mereka berbadan kecil (mengalami dwarfism) seperti saat ini.
Dalam makalah saya itu (Satyana, 2011), justru komodo yang kita kenal sekarang adalah produk gigantisme dari biawak. Mengapa?
Komodo (Varanus komodoensis) baru terbuka kepada dunia ilmu pengetahuan pada tahun 1912 ditandai dengan munculnya deskripsi fauna ini dalam sebuah jurnal ilmu pengetahuan oleh Ouwens seorang penelitti di Kebun Raya Bogor.
Deskripsinya itu didasarkan atas penemuan komodo untuk pertama kalinya (bagi dunia barat mestinya) oleh seorang tentara Belanda yang ditugaskan di Flores pada tahun 1910. Kini komodo hidup di beberapa pulau kecil yang terletak antara Sumbawa dan Flores, yaitu: Pulau Komodo, Rinca, Padar, Gili Motang dan Flores bagian barat dan utara. Seekor komodo dewasa yang tumbuh maksimum dapat mencapai panjang hampir 3 meter dan berat 70-90 kg. Komodo adalah kadal/biawak terbesar di dunia. Saya sempat mengunjungi pulau-pulau ini pada tahun 2012.
Bahwa komodo berasal dari fauna yang lebih besar lagi, memang pernah diduga (Ciofi, 1997), yaitu berasal dari kadal/biawak raksasa berukuran 7 meter, berat 650 kg, yang pada 30.000 tahun lalu berkeliaran di Australia bagian timur, dengan nama spesies Megalania prisca. Tetapi, para peneliti menganggap komodo-komodo yang ditemukan di pulau2 sebelah barat Flores, adalah berasal dari Flores, bukan dari Australia.
MacKinnon (1986) mengatakan komodo2 di pulau2 kecil di sebelah barat Flores berasal dari Flores pada waktu Plistosen, atau produk gigantisme dari biawak2 yang banyak ditemukan di kawasan Australasia atau Oriental (Asiatik), di luar wilayah Wallacea, biawak ini kemudian mengalami gigantisme di wilayah Wallacea karena berhubungan dengan teori island biogeography.
Pendapat bahwa komodo produk dwarfism dari Megalania prisca yang hidup di Australia bagian timur susah dibuktikan karena tidak ditemukannya fosil2 Megalania dalam jalur migrasi dari Australia ke Flores, di samping itu genusnya berbeda antara komodo (Varanus) dan Megalania.
Demikian, Nusa Tenggara adalah wilayah yang sangat menarik bagi penghunian hewan-hewan purba pada Plistosen. Penemuan-penemuan fosilnya masih akan terjadi, tetapi agar kita tahu duduk perkaranya dengan baik, perlu dipahami secara baik dalam bingkai migrasi fauna regional, dan genetic drift, antara Sulawesi – Jawa – Nusa Tenggara.
Inilah sisi Indonesia yang menarik, yang tertutup dari banyak mata pada umumnya, karena tidak kasat mata sebab terkubur dan tersisa sebagai fosil-fosil saja, namun sebenarnya menceritakan sesuatu yang mengagumkan – betapa dinamiknya Indonesia dalam perubahan geologi dan migrasi faunanya.**
Sumber : awangsatyanablog
0 Comments