Sutikno Bronto. Foto: Deni Sugandi. |
" Memetakan geologi gunung api beserta kawasan rawan bencana gunung api untuk kebanyakan orang, bahkan untuk para geologiwan sendiri, merupakan kerja yang musykil. Namun, tidak demikian halnya bagi Sutikno Bronto. Sosok profesor yangberdedikasi tinggi ini sudah biasa memetakan gunung api, bahkan sekarang ia merambah ke pemataan gunung api purba "
Latar belakang merupakan sesuatu yang niscaya pada seseorang yang memutuskan untuk mulai menggeluti sesuatu. Sutikno Bronto pun demikian. Dilahirkan di Desa Tunjungan, Ngombol, Jawa Tengah, pada 24 Januari 1953, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Brontosudiro dan Wagisah, Sutikno sangat dipengaruhi oleh mata pencaharian di daerah tempat asalnya, yaitu pertanian, dan pendidikan yang ditempuhnya tatkala harus memutuskan untuk masuk ke jenjang pendidikan tinggi.
Di desa asalnya, ayah Sutikno dikenal sebagai petani dan Sekretaris Desa atau masyarakat akrab menyebutnya dengan Pak Carik. Di sekitar desa inilah Sutikno kecil menyelesaikan pendidikan dasarnya. Pada tahun 1965, ia lulus dari Sekolah Dasar Negeri Bukur, Kecamatan Ngombol, Purworejo. Pendidikan menengahnya dilanjutkan di Kota Gudeg, Yogyakarta. Ia lulusan Sekolah Menengah Pertama Negeri I Yogyakarta (1968) dan Sekolah Menengah Atas Negeri I Teladan Yogyakarta (1971).
Setelah SMA, Sutikno melanjutkan studinya ke jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada. Di balik masuknya ke ranah geologi inilah yang dilatari oleh mata pencaharian penduduk daerah asalnya dan pendidikan yang ditempuhnya selama sekolah menengah.
Sutikno Bronto. Foto: Deni Sugandi. |
“Sebenarnya, pada awalnya, karena rasa penasaran. Waktu SMA itu kita mendapat pelajaran geografi kemudian saya berasal dari daerah pertanian. Waktu saya mendaptar ke Universitas Gadjah Mada, saat itu ada jurusan geografi dan pertanian. Tapi kan geografi sudah saya pahami sejak SMA dan pertanian juga karena saya berasal dari keluarga petani saya sudah tahu seluk beluk pertanian. Nah, yang belum tahu adalah teknik geologi.
Makanya saya memilih tenik geologi sebagai pilihan pertama,” ujar Sutikno menerangkan ihwal latar belakang perkenalannya dengan geologi pada tahun 1972.
Saat ia mulai kuliah, di Indonesia sudah mulai banyak peminat geologi. Karena menurut Sutikno, pada tahun itu mulai perkenalan adanya geologi yang mengarah ke minyak bumi. Awal tahun 1970-an itu mulai disosialisasikan mengenai lulusan geologi, yang salah satu di antaranya bias masuk ke arah minyak bumi. Sehingga sebagian besar peminat geologi terarah kepada pertambangan minyak dan gas.
Selama kuliah ia tidak mendalami aspek yang khusus dari geologi. Ia beralasan, “Karena geologi itu umum. Artinya, nanti kita bekerja itu bisa di mana saja. Oleh karena itu, supaya siap bekerja di mana saja, geologinya lebih banyak geologi umum atau geologi dasar.”
Untuk tugas akhir kuliah yang diselesaikannya pada tahun 1979 itu, Sutikno memilih Pegunungan Menoreh sebagai daerah pemetaan geologi dan manifestasi panas bumi di daerah Buyan Bratan, Bali, sebagai skripsinya. Pemetaannya bertajuk Geologi Daerah Borobudur dan Sekitarnya Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Sementara skripsinya adalah Penyelidikan Struktur Geologi Sebagai Pengontrol Kenampakan Panasbumi di Daerah Plaga, Bali. Ia mengaku untuk pemetaan geologi itu hanya sebentar, sekitar enam bulan. Namun, yang lama adalah konsultasinya yang mencapai tiga tahun, 1976-1979.
Masuk Direktorat Vulkanologi
Sutikno Bronto. Foto: Deni Sugandi. |
Selama masa kuliahnya, Sutikno sering mengikuti kuliah lapangan. Menurutnya, “Kuliah lapangan itu terasa buat saya, kalau kita berbicara atau meneliti batuan sedimen itu kan daerahnya datar dan kesannya panas sekali, sehingga ketika bekerja saya ingin ke tempat yang agak sejuk. Nah, yang sejuk kan di daerah gunung api”. Itulah yang menjadi alasan bagi Sutikno untuk melamar kerja ke Direktorat Vulkanologi di Bandung pada 1980.
Kebetulan tahun itu, ada pengumuman dari Kementerian Pertambangan mengenai penerimaan pegawai negeri baru. Sutikno membaca pengumuman itu dari media cetak. Ia langsung melamar ke Direktorat Geologi dan mengikuti ujian masuk di kantor Seksi Penyelidikan Merapi di Yogyakarta. “Karena saya rumahnya di Yogya, daripada ke Bandung, saya tesnya di Yogya,” kata Sutikno.
Alhasil, sejak 1980, Sutikno tercatat sebagai Staf ahli pada Seksi Pemetaan Geologi, Sub Direktorat Pemetaan Gunung api, Direktorat Vulkanologi. Sebagai pemeta geologi, mula-mula ia mengikuti pemetaan Gunung Gamalama, Gunung Lamongan, dan Gunung Anak Krakatau. Hasil pemetaan tersebut sudah diterbitkan, yaitu Peta Geologi Gunungapi Gamalama, Ternate, Maluku Utara (Geologic map of Gamalama Volcano, Ternate, North Maluku, 1982), Peta geologi Gunungapi Lamongan, Lumajang, Jawa Timur (Geologic map of Lamongan Volcano, Lumajang, East Java, 1986), dan Peta Geologi Kompleks Gunungapi Krakatau, Selat Sunda, Propinsi Lampung (Geologic map of Krakatau Volcano Complex, Sunda Strait, Lampung Province, 1986). Selama melakukan pemetaan gunung api pada 1980-1981 itu, ia merasa tertantang. Katanya, “Karena sudah berniat bekerja di Vulkanologi dan tempatnya di gunung-gunung, ya rasanya senang dan tertantang karena sesuai dengan keinginan dan ternyata di atas gunung kan hawanya sejuk dan pemandangan ke bawahnya bagus. Kemudian tantangan lain, masalah geologinya ternyata lebih menarik. Apalagi kan masih muda, tenaganya masih fresh.”
Selama 1980-1984, Sutikno bekerja di pemetaan gunung api, termasuk diperbantukan pada tim pemetaan endapan dan lahar saat Gunung Galunggung meletus tahun 1982. Memasuki 1985, ia mempunyai kesempatan untuk mendalami kegunungapian di Selandia Baru. Setelah mengikuti kursus bahasa Inggris di The British Council, English Language Centre, Jakarta (1984) dan English Language Institute, Victoria University of Wellington, New Zealand (1985), Sutikno mulai kuliah di The University of Canterbury, Christchurch, New Zealand.
Karena berpengalaman memetakan Gunung Galunggung, ia memilih gunung api di timur Jawa Barat ini sebagai kajian pascasarjananya. “Saya sendiri yang menentukan topic penelitiannya, karena saya punya pengalaman bekerja di Galunggung waktu meletus. Kemudian daerahnya di Indonesia, maksudnya supaya nanti hasilnya dapat dimanfaatkan langsung di Indonesia. Selain itu, pertimbangan saya, karena Galunggung baru meletus, itu berarti singkapan batuannya masih tersingkap dengan jelas. Karena sebagaian besar gunung api yang lain itu tertutup rapat oleh hutan, sehingga singkapan batuannya
tidak kelihatan. Saat Galunggung meletus kan kering dan terbuka, jadi singkapannya sangat ideal dan jelas,” terang Sutikno mengenai latar belakang penyusunan disertasi bertajuk Volcanic Geology of Galunggung, West Java,Indonesia (1989) itu.
Sepulang dari Negeri Kiwi, antara 1992-199, Sutikno menjabat Kepala Kantor Seksi Gunung Merapi di Yogyakarta. Begitu dia diangkat menjadi kepala kantor itu, awal tahun 1992, Gunung Merapi meletus. “Jadi Merapi seperti mengucapkan selamat datang kepada saya. Karena saya terbiasa gunung api, saya tidak begitu khawatir menghadapinya. Namun, saya harus mampu menenangkan pemerintah dan masyarakat setempat karena consent kita kan melakukan pengamanan bagi mereka. Kemudian saya juga harus bicara kepada wartawan,” kenang Sutikno.
Pada tahun 1994, Sutikno kembali ke Bandung. Kali ini ia dipercaya sebagai Kepala Seksi Pemetaan Daerah Bahaya Gunungapi, Sub Direktorat Pemetaan Gunungapi. Tugas utamanya adalah membuat peta daerah bahaya gunung api di seluruh Indonesia. Hasil kerjanya selama menjabat Kepala Seksi Pemetaan Daerah Bahaya Gunungapi, antara lain, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Bromo, Propinsi Jawa timur (Volcanic Hazard Map of Bromo Volcano, East Java province, 1996), Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Agung, Propinsi Bali (Volcanic Hazard Map of Agung Volcano, Bali Province, 1996), dan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Batur, Propinsi Bali (Volcanic Hazard Map of Batur Volcano, Bali Province, 1998).
Mendalami Gunung Api Purba
Pada 2001, Sutikno Bronto pindah ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang Pusat Survei Geologi). Jabatan fungsional peneliti dimulai dari Peneliti Madya pada 2003, dan menjabat sebagai Peneliti Utama pada 1 April 2009. Pada 2005, ia menjadi anggota Dewan Ilmiah di Puslitbang Geologi.
Karena pindah ke Puslitbang Geologi, Sutikno tidak ingin terlalu masuk ke wilayah gunung api aktif, karena wilayah itu ada pada ranah Direktorat Vulkanologi. Katanya, “Saya ingin lebih fokus pada gunung api-gunung api yang belum ditangani oleh Vulkanologi.”
Pada beberapa hal, ia mengakui masih tertarik kepada gunung api-gunung api yang menyebabkan bencanabencana besar, misalnya bencana letusan kaldera, bencana longsoran letusan gunung api seperti Mt. Saint Helens. “Di situ kan Vulkanologi belum masuk. Jadi sebagai peneliti, saya masuk ke ranah itu. Misalnya, saya pernah mengkaji bahwa Gunung Merapi pernah longsor besar ke selatan sampai jarak 30 kilometer hingga mencapai daerah Godean, di daerah barat Kota Yogyakarta.”
Agar tidak terjadi tumpang tindih dengan yang dilakukan oleh PVMBG, Sutikno mengaku sering mengkoordinasikan apa yang ditelitinya kepada PVMBG.
“Kepada mereka saya sering menyatakan, tolong hasil penelitian saya ini ditindaklanjuti untuk jaga-jaga agar nanti kalau benar-benar terjadi, kalian harus siap menghadapinya. Ya, saya selalu mengkomunikasikannya melalui presentasi, lisan, ataupun tertulis,” ujarnya.
Ihwal ketertarikannya mempelajari gunung api purba (paleovolcano), Sutikno menerawang ketika masa-masa kerjanya di Yogyakarta. “Waktu itu saya selain bekerja di Merapi, saya diminta mengajar mahasiswa teknik geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNas). Karena saya punya latar belakang pengalaman di gunung api aktif, dan mengajar serta kunjungan lapangan ke Pegunungan Selatan dan Kulon Progo. Di daerah situ kan batuan penyusunnya batuan gunung api. Sejak saat itu saya mencoba menghubungkan prinsip geologi the present is the key to the past. Artinya, hasil mempelajari gunung api aktif masa kini, seperti Gunung Merapi, dapat kita terapkan untuk menjawab masala gunung api purba seperti yang ada di Pegunungan Selatan dan Kulon Progo,” terangnya.
Berdasarkan prinsip yang dikemukakan oleh JamesHutton (1726-1797) pada abad ke-18 itu, dapat dipelajari kelakuan gunung api masa kini, bentuk bentang alam, pola aliran, batuan penyusun dan struktur geologi yang dihasilkan. Data tersebut kemudian dapat dijadikan landasan untuk menjelaskan genesis fakta geologi batuan gunung api yang lebih tua. Alur pemikiran ini sebenarnya sudah dimulai oleh van Bemmelen, yang mengamati kelakuan gunung api aktif masa kini, seperti Merapi, Kelud dan Semeru, kemudian beranjak ke gunung api yang lebih tua, yakni Muria. Fakta-fakta tersebut oleh Sutikno kemudian dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa di Pegunungan Kulon Progo terdapat tiga gunung api Tersier, yaitu Gajah, Ijo dan Menoreh. Lebih jauh, Sutikno menyatakan, “Studi terpadu geologi mencakup geomorfologi dan inderaja, stratigrafi dan fasies gunung api, sedimentologi, petrologi geokimia, geokronologi serta struktur geologi dapat menemukan fosil gunung api (gunung api purba), terjadinya tumpang tindih vulkanisme (superimposed volcanisms) dan terdapatnya cekungan sedimentasi di dalam busur gunung api (intra arc basins/basins within the arc).”
Gunung api purba itu sendiri dimaknainya sebagai “gunung api yang pernah aktif pada masa lampau, tetapi sekarang ini sudah mati dan tererosi lanjut sehingga penampakan bentang alamnya sudah tidak sejelas gunung api aktif masa kini, bahkan sebagian besar batuan hasil kegiatannya sudah tertimbun oleh batuan yang lebih muda. Pada umumnya, aktivitas gunung api purba itu terjadi pada umur Tersier atau lebih tua, dan pada masa kini jejak peninggalannya hanyalah berupa batuan gunung api.”
Menurutnya, di Indonesia, sebaran batuan gunung api berumur Tersier dan pra-Tersier sangat melimpah. Batuan gunung api tertua yang tersingkap di Sumatra berumur Perem berumur 280-250 juta tahun yang lalu (tyl), dan dikelompokkan ke dalam Formasi Gunung Api Panti, Silungkang dan Palepat. Vulkanisme sangat tua di Kalimantan ditandai oleh batuan gunung api Jambu (209 ± 5 juta tyl), Sekadau dan Formasi Kuayan, yang berumur Trias, serta Formasi Haruyan yang berumur Kapur (82,93 ± 2,21 juta tyl – 66,27 ± 11,63 juta tyl). Di Jawa dan pulaupulau lain di Indonesia, vulkanisme diduga sudah dimulai sejak Kapur-Eosen, yang diwakili antara lain oleh FormasiJatibarang.
Untuk penemuan dan kajiannya seputar gunung api purba, Sutikno telah dan sedang menuliskannya dalam bentuk makalah dan buku. Makalah-makalah seputar gunung api purba antara lain dimuat dalam “Jurnal Geologi dan Sumber Daya Mineral”, “Majalah Geologi Indonesia”, “Jurnal Geologi Indonesia”, dan sejumlah prosiding pertemuan ilmiah yang diikutinya. Sementara itu, karya tulisnya yang berbentuk buku adalah “Geologi Gunung Api Purba” (2010 & 2013) dan “Pengembangan dan Terapan Geologi Gunung Api” (dalam proses cetak).
Kini, menurut Sutikno, tantangan ke depan yang dihadapinya adalah melakukan penelitian untuk mengidentifikasi gunung api purba di luar Jawa dan kemungkinan terjadinya tumpang tindih vulkanisme, serta adanya cekungan sedimentasi di antaranya.
Kajian Geologi Dasar
Kajian mengenai gunung api purba di tingkat dunia, menurut Sutikno, bisa dikatakan relatif baru. “Karena faham geologinya yang menyebabkannya. Jadi, kalian belajar geologi kan hanya melihat batuan beku, sedimen, dan metamorf. Jadi kalau melihat peta-peta geologi, batuan-batuan gunung apinya tidak muncul.”
Menurut Sutikno, pembelajaran geologi selama ini, lebih didasarkan pada pandangan geologi sedimenter. Hampir tidak ada institusi geologi yang secara berkelanjutan melakukan penelitian kegunungapian, apalagi mengkhususkan diri di bidang geologi gunung api. Kenyataan tersebut berkait dengan pemikiran ahli geologi barat yang lingkungan geologinya jauh dari gunung api dan lingkungan geologinya lebih bersifat darat (continental atau cratonic) dan atau laut (oceanic). Pandangan ini secara tegas memisahkan antara proses pengendapan dengan proses penerobosan magma.
Padahal menurut Sutikno, pandangan Geologi sedimenter mempunyai beberapa kelemahan, yaitu kurangnya pemahaman terhadap pembentukan batuan gunung api, yang secara langsung atau primer terbentuk oleh erupsi gunung api. Kelemahan kedua, terkait dengan pemahaman mengenai cekungan sedimentasi yang merupakan cekungan di depan busur gunung api dan secara tektonik tidak mungkin terbentuk magma di bawahnya, karena terlalu dekat dengan lokasi penunjaman kerak bumi.
Atas kiprahnya terhadap kegunungapian, pada tahun 2010, Sutikno diangkat sebagai profesor riset. Pidato pengukuhannya bertajuk “Geologi Gunung Api di Indonesia: Masa Kini dan Masa Depan”. Pidato ini menekankan pembelajaran geologi, melalui penelitian dan pendidikan, yang disesuaikan dengan kondisi umum di Indonesia.
Menurut Sutikno, geologi gunung api dapat diaplikasikan dalam rangka penemuan sumber baru mineral dan energi, pengelolaan lingkungan geologi, dan mitigasi bencana. Untuk mineral dan energi dapat menggunakan konsep pusat gunung api (volcanic center concept for gold exploration strategy). Penerapannya antara lain untuk mendapatkan sumber baru mineralisasi di daerah Cupunagara, Subang, Jawa Barat. Kata Sutikno, “Untuk menambah jumlah temuannya, konsep pusat gunung api ini agar dikembangkan di seluruh daratan kepulauan gunung api dan gunung api bawah laut, baik pada gunung api Kuarter maupun yang lebih tua.”
Dalam kaitannya dengan sumber daya lingkungan, ia menyatakan bahwa hampir seluruh kawasan gunung api aktif menjadi daerah pemukiman, pariwisata, pertanian, dan kehutanan. Selain itu, kerucut gunung api menjadi daerah tangkapan dan resapan air hujan. Dan pada cekungan dalam busur gunung api diharapkan banyak mengandung potensi air bawah permukaan.
Untuk mendukung mitigasi bencana geologi, pemahaman geologi gunung api dapat berperan dalam kaitannya dengan kegiatan tektonika dan vulkanisme, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan gerakan tanah di daerah gunung api.
Semangat Ilmiah Tinggi
Bersama keluarga saat acara orasi pengukuhan profesor riset. Foto: Dok. Pribadi. |
Hingga sekarang, Sutikno Bronto tetap bekerja dan berkarya. Penelitiannya kini tertuju kepada pengembangan geologi gunung api yang diarahkan kepada penemuan minyak bumi atau temuan yang diindikasikan mengandung minyak bumi.
Selain itu, sebagai insan yang menyadari arti penting pendidikan, ia masih mengajar geologi gunung api di Fakultas Teknik Geologi Universitas Trisakti, Jakarta. Sebelumnya, antara 1992-2002 ia menjadi staf pengajar Teknik Geologi STTNas Yogyakarta. Juga sering diundang sebagai dosen tamu, antara lain UGM, ITB, UNPAD, UPN ”Veteran” Yogyakarta, STTNas Yogyakarta dan IST AKPRIND Yogyakarta.
Sutikno pun dengan suka rela menjadi pembimbing tugas akhir mahasiswa. Ia antara lain membimbing mahasiswa program studi S1 dan S2 , serta sebagai penyanggah untuk ujian S3 di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran. Ia pun sering diundang untuk menyampaikan materi tentang bahaya gunung api dan penanggulangannya, memberikan kursus dasardasar batuan gunung api dan geologi gunung api untuk mendukung eksplorasi mineral, memandu lapangan gunung api dan daerah berbatuan gunung api.
Dengan dilandasi semangat ilmiah yang tinggi sebagai seorang peneliti, Sutikno telah menghasilkan lebih dari 100 buah karya tulis ilmiah, baik yang ditulis sendiri maupun bersama dengan penulis lain. Bentuknya berupa makalah dalam majalah ilmiah, prosiding pertemuan ilmiah, maupun laporan tidak terbit. Semuanya berkaitan dengan kegunungapian, mulai dari dasar-dasar vulkanologi dan geologi gunung api hingga implikasinya.
Selain itu, hingga kini, ia aktif menulis dan menjadi mitra bestari bagi jurnal-jurnal ilmiah terkait ilmu kebumian. Sutikno pernah terlibat sebagai anggota redaksi dan mitra bestari bagi, antara lain, Jurnal Teknologi Nasional (1996-2002), Majalah Geologi Indonesia (2001-2005), Jurnal Sumber Daya Geologi (2001-2005), dan Jurnal Geologi Indonesia (2006-2008). Sejak 2009, ia menjadi anggota redaksi Buletin Eksplorium. Pada pertemuan ilmiah geologi dan vulkanologi juga berperan serta secara aktif, baik di dalam dan luar negeri, antara lain di Jepang, Amerika Serikat, dan Meksiko.
Dalam haribaan gunung api pula ia kini menetap. Selain berkantor di Bandung, bersama istrinya R.R. Maryuni Praptokoesoemo yang dinikahinya pada 1981 dan mengarunianya Anelia Meliolina SB, Inten Galuh Prawesti SB dan Trinita SB, Sutikno membangun rumah di sekitar kaki selatan Gunung Merapi. Tepatnya di Dusun Karanganyar, Desa Wedomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Sementara dua dari ketiga putrinya telah menikah dan menganugerahinya dua cucu.
Penulis: Atep Kurnia Fotografer : Deni Sugandi
0 Comments