J.A. KATILI, BAPAK GEOLOGI INDONESIA
J.A. Katili |
" J. A. Katili ahli geologi yang terus berbagi ilmu. 258 tulisan lahirdalam rentang 1951-2005, yang tersebar di jurnal ilmiah, di koran dan majalah populer. Sebelas bukunya menjadi rujukan untuk ilmu geologi. Peraih gelar doktor dan profesor pertama di bidang geologi ini dengan berbagai karya besarnya dalam bidang geologi telah mengantarkannya menjadi Bapak Geologi Indonesia. J.A. Katili, ternyata tidak hanya piawai dalam menganalisis kejadian bumi, tapi juga tajam saat menganalisis pertandingan sepak bola "
John Ario Katili demikian nama lengkap J.A. Katili, lahir di Gorontalo, 9 Juni 1929 dan pada usia 79 tahun beliau tutup usia tepatnya pada tanggal 19 Juni 2008 di Jakarta. Tiga tahun sudah Katili meninggalkan kita, tetapi karyanya yang luar biasa di bidang geologi telah menjadi warisan kegeologian. Jasa-jasanya dikenang banyak orang sejak ia menjadi dosen dan guru besar pada Jurusan Teknik Geologi ITB 1961.
J.A. Katili berhasil meraih gelar doktor dan profesor Indonesia pertama di bidang geologi. Karya tulisnya tentang geologi, tektonik, dan kegunungapian Indonesia yang tersebar luas di berbagai media sering dijadikan rujukan. Gelar doktor dan profesor pertama serta karyanya tersebut mengantarkannya mendapat gelar “Bapak Geologi Indonesia”. Tak heran kalau semua ahli geologi Indonesia mengenal nama Katili.
Berbagai jabatan yang pernah dipercayakan dipundaknya antara lain; selain menjadi dekan dan pembantu rektor di ITB hingga 1965, dalam rentang waktu yang sama Katili juga menjabat sebagai Direktur Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional LIPI (1962-1971). Selepas itu, antara 1969-1974 sebagai Deputi Ketua LIPI dan penasehat Bakosurtanal (1970) hingga sebagai Dirjen Pertambangan Umum (1973- 1984). Antara 1984-1989 menjabat sebagai Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Penasehat Ahli Menteri Pertambangan dan Energi (1989).Tahun 1992 beliau memasuki dunia politik dan terpilih sebagai Wakil Ketua MPR sampai dengan 1997.
Antara 1999 sampai dengan 2003 beliau diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Federasi Rusia, Kazakhstan, Turkmenistan dan Mongolia.
Banyak geolog angkatan lebih muda terinspirasi oleh warisan karya-karya Katili. Tulisan-tulisannya, baik di jurnal-jurnal ilmiah maupun karya tulis ilmiah popular, selalu memperkenalkan geologi, terutama tektonik dan gunung api, sebagai keahliannya. Tulisan ilmiah populernya enak dibaca. Hal itu membawa geologi pada tataran ilmu pengetahuan yang mudah dicerna oleh masyarakat luas.
Berdasarkan catatan pada buku biografinya “Harta Bumi Indonesia,” sejak 1951 hingga 2005 tulisantulisannya, baik ilmiah maupun ilmiah popular, t e r k u m p u l sebanyak 258 artikel. Sebelas b u k u n y a menjadi rujukan yang berguna untuk Geologi I n d o n e s i a . Ke a s y i k a n n y a dalam tulismenulis bahkan bukan hanya di bidang geologi saja. Ketika sedang marakmaraknya Piala Dunia Perancis 1998, Katili mengulas analisis sepak bola yang dimuat di Tabloid Bola. Tentunya analisis itu tidak ada hubungannya dengan geologi, kecuali mungkin bahwa bulatnya bola seperti bulatnya bumi.
Laksana Bararaknya Mega |
J.A. Katili lahir di Gorontalo yang saat itu masih bagian dari Provinsi Sulawesi Utara sebelum menjadi provinsi terpisah seperti sekarang ini. Ia lahir di Kampung Bugis dari ayah bernama Abdullah Umar Katili dan ibu Tjimbau Lamato. Pada buku “Harta Bumi Indonesia” dengan sangat lucu diceritakan bagaimana Abdullah menimang-nimang bayi Katili sambil berpikir menimbang-nimbang nama yang akan diberikan kepada anak keenamnya itu. Abdullah teringat pada tokoh pendiri dan komandan Angkatan Laut Amerika, John Paul Jones. Tetapi ia malah segera terpikir John Weissmuller, juara renang gaya bebas pemegang medali emas Olimpiade Paris (1924) dan Amsterdam (1928) yang kemudian terkenal sebagai aktor Hollywood, terutama sebagai Tarzan. Dari perenang John Weissmuller-lah nama John dijadikan dasar penamaan puteranya, sebagai tradisi lelaki Gorontalo yang selalu dibuai ombak Teluk Tomini. Nama tengah Ario diusulkan oleh sepupu Abdullah, Mitu, agar gagah dan kelak menjadi orang besar, katanya.
J.A. Katili bersekolah di Rooms Christelijke School Poso, Sulawesi Tengah dari kelas 0 sampai kelas 4. Ia kemudian melanjutkan hingga lulus sekolah dasar di HIS Gorontalo pada 1943 saat Jepang menguasai Indonesia. Tingkat SMP-nya dilalui di Chugakko di Tomohon, Sulawesi Utara yang lebih banyak pelajaran militer karena guru-gurunya adalah tentara Jepang. Setamat di Chugakko, J.A. Katili melanjutkan ke MULO C di Manado dan lulus pada 14 Juni 1947 dengan nilai-nilai yang memuaskan yang menjadi dasar untuk diterima di tingkat lebih tinggi di AMS-B Makassar.
M a s u k n y a J.A. Katili sebagai mahasiswa Jurusan Geologi di ITB (saat itu masih bernama FIPIA Universitas Indonesia di Bandung) diawali dengan penolakan beasiswanya. Namun setelah menghubungi Kepala Dinas Meteorologi dan Geofisika yang orang Belanda, ia segera dirujuk ke Professor Th.H.F. Klompe, Lektor Kepala Bagian Geologi melalui telepon: “Theo…ik heb hier een uitstekend student voor jou.” (Theo…saya di sini bertemu dengan bakal mahasiswa cerdas untukmu). Jadilah J.A. Katili menjadi seorang dari beberapa mahasiswa geologi Indonesia pertama yang dididik oleh Prof. Klompe yang keras, bahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya dijuluki Si Jagal.
J.A. Katili |
J.A. Katili lulus sarjana FIPIA pada Jumat 9 November 1956. Setahun sebelumnya ia menikah dengan Ileana Syarifa Uno, dan dikaruniai Amanda Ruthiana Nanurani yang lahir pada 1957 serta Werner Abdul Rais yang lahir dua tahun kemudian, 1959. Dalam waktu itu, ia memperoleh beasiswa untuk pasca sarjana yang didapatnya dari Rotary
Foundation ke Universitas Inssbruck, Austria. Sebagai syarat untuk mendapat beasiswa itu, J.A. Katili memberi ceramah ilmiah dengan judul “Terjadinya Dataran Tinggi Bandung dalam kaitannya dengan Letusan Gunung Tangkubanparahu.” Ketika di Austria, J.A. Katili mendapat kabar bahwa Pemerintah Indonesia menasionalisasi seluruh instansi Belanda di Indonesia. Prof. Klompe yang tadinya diharapkan jadi pembimbing doktornya, telah pindah ke Bangkok ketika J.A. Katili kembali ke Indonesia pada 1958 dengan membawa bahan disertasinya. Beruntunglah ITB saat itu mendapat bantuan dari USAID Amerika Serikat dengan program Kentucky Contract Team, dan J.A. Katili pun mendapat bimbingan doktornya dari Robert W. Decker dan Ch. S. Bacon. Tahun 1960 jadilah J.A. Katili lulus cum laude pada usia 30 tahun dan merupakan doktor lulusan ITB yang pertama. Setahun setelah gelar doktornya, ia menyandang predikat professor. Pengabdian untuk Geologi dilanjutkan sebagai dosen Geologi di ITB dan menjabat Dekan Departemen Teknologi Mineral dari 1961 hingga 1965, dekan pertama bangsa Indonesia.
AHLI GUNUNG API
Pada tahun 1962 Gunung Colo di Pulau Una-Una yang berlokasi di tengah Teluk Tomini meningkat aktivitasnya. Merasa memiliki ikatan bathin dengan tanah
leluhurnya yang pernah dibuai ombak Teluk Tomini, Katili menyempatkan diri mengunjungi gunung api itu dan melakukan serangkai-an penelitian. Beliau menyimpulkan bahwa Colo belum waktunya meletus.
Perhatian Katili terhadap gunung api sangat besar. Suatu ketika beliau mengatakan bahwa gunung api yang sudah tidur lama dan tipe B jangan diabaikan karena sewaktuwaktu dapat giat kembali.
Tectonic and Resouces |
Ucapannya itu seolah-olah beresonansi hingga ke dapur magma dan, luar biasa, pada 23 Juli 1983 Pulau Una-Una tiba-tiba digoncang gempa bumi selama beberapa hari. Radiogram yang dikirim oleh Camat Una-Una ke Direktorat Vulkanologi yang melaporkan bahwa gempa bumi yang menggoyang Una-Una mulai membangunkan Gunung Colo yang sudah tidur 83 tahun, bau belerang sudah mulai menyebar ke seluruh pulau. Mengetahui hal tersebut, Katili yang pada saat itu menjabat sebagai Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral menginstruksikan kepada Direktur Vulkanologi agar mengungsikan seluruh penduduk Pulau Una-Una. Benar saja, pengungsi terakhir baru saja mendarat di daratan Sulawesi, Ampana, Gunung Colo meletus dahsyat. Seluruh pulau hangus dilanda awanpanas. Dengan rendah hati Katili mengatakan bahwa prediksi letusan Gunung Colo kebetulan adanya.
Lima tahun kemudian, pada 1988 Indonesia melahirkan satu gunung api baru. Di sebuah dusun terpencil di Ruteng, Flores berdiri dua bukit andesit sisa gunung api purba. Bukit itu adalah Bukit Ranakah dan Bukit Mandosawu. Dari lembah di antara kedua bukit itu muncul rekahan yang kemudian berkembang menjadi titik letusan
dan melahirkan gunung api yang ke 129 Indonesia.
Ketika harus dipublikasikan, gunung api baru itu belum memiliki nama. Penduduk setempat menamakannya Gunung Namparnos yang artinya Gunung Batu Terbakar, karena mereka melihat lava yang membara keluar dari perut Flores. Tetapi Katili berpikir lain, nama itu harus ada kaitannya dengan geologi, sehingga beliau menamakannya Gunung Anak Ranakah karena secara morfologi gunung baru itu menempel di badan Bukit Ranakah.
Pengalaman dan baktinya J.A. Katili untuk geologi Indonesia tidak diragukan lagi dan terlalu panjang jika dituliskan di artikel ini. Saat menjabat sebagai Duta Besar berkuasa penuh untuk beberapa negara bekas Uni Sovyet, Katili pun menyempatkan untuk mempelajari dan memahami geologi setempat. Semangatnya untuk Geologi Indonesia akan menjadi motivasi bagi para ahli geologi penerusnya, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.( Budi Brahmantyo dan SR. Wittiri)
Sumber tulisan: Katili, J.A. (2007). Biografi J.A. Katili, Harta Bumi Indonesia, Grasindo, Jakarta, 421 hlm. Pengalaman pribadi penulis.
0 Comments