About Me

header ads

Tectonic Desertification: Plato Tibet & Takla Makan – Sw China


Ini cerita fenomena geologi dari wilayah SW China, Tibet, Himalaya sampai India, cerita tentang bagaimana tektonik membentuk gurun, yang oleh Skinner et al.(2004, Dynamic Earth, Wiley International) fenomena semacam itu disebut “tectonic desertification”.

Gurun adalah suatu kawasan yang kering dengan curah hujan setahun < 250 mm. Gurun biasa terjadi di wilayah-wilayah berudara kering, yaitu di area subtropis (20-30 LU & LS) misalnya Sahara dan Kalahari, di area interior kontinen, jauh dari sumber kelembaban misalnya Gobi dan Takla Makan, di area bayangan hujan di balik pegunungan misalnya Sierra Nevada,di kawasan pantai, dan di area kutub misanya Arctic Canada.


Dua gurun terjadi di sebelah baratdaya Cina yang merupakan gurun-gurun yang luas di dunia. Satu, Gurun Takla Makan, merupakan gurun yang panas, dengan kawasan yang luas tempat terjadinya bukit-bukit pasir (sand dunes) berpindah-pindah. Dua, Plato Tibet, merupakan gurun yang elevasinya tinggi dan dingin dengan vegetasi berupa stepa yang jarang, di bawahnya terdapat tanah yang membeku. Kedua gurun ini dibentuk oleh tektonik, akibat benua-benua yang berbenturan, selama beberapa puluh juta tahun.

Bukti bahwa di kawasan Cina baratdaya ini telah terjadi proses pembentukan gurun (desertifikasi) selama beberapa puluh juta tahun telah ditunjukkan oleh para ahi paleontologi Cina yang memelajari sisa tanaman dan hewan di lapisan-lapisan batuan berumur Tersier (65-2 juta tahun yang lalu). Tempat-tempat penemuan fosil ini tersebar di Plato Tibet dan jalur pegunungan di dekatnya, kebanyakan pada ketinggian 4000-6000 m.


Fosil tanaman dan serbuk sari (polen) yang berumur Eosen dan Oligosen (55-23 juta tahun yang lalu) menunjukkan tanaman berdaun lebar yang tak pernah mengalami masa kering, seperti eucalyptus dan magnolia. Tanaman-tanaman seperti ini sekarang hanya tumbuh di hutan yang lembab di lingkungan tropis. Fosil-fosil hewan berumur Oligosen yang ditemukan di Plato Tibet adalah sejenis badak seperti yang sekarang ada di Indonesia. Berdasarkan hal itu, Plato Tibet dan SW China pada Eosen-Oligosen beriklim hangat, dan ketinggiannya hanya sekitar 500-1000 m. Iklimnya hangat merata ke mana-mana karena tidak ada jalur pegunungan yang menghalangi jalan udara laut yang lembab yang datang dari selatan.

Ditemukan juga fosil Hipparian di banyak tempat di Plato Tibet dan SW China. Hipparian merupakan leluhur kuda, kuda primitif. Dengan ditemukannya fosil kuda di mana-mana menunjukkan bahwa pada masa itu tidak ada jalur pegunungan yang menghalangi migrasi kuda.

Kumpulan fosil tumbuhan dan hewan berumur Miosen dan Pliosen (23-5 juta tahun yang lalu) lain lagi, yang menunjukkan bahwa Plato Tibet dan SW China sedang terangkat dan iklimnya mulai dingin serta kering. Lalu kira-kira menjelang Plistosen (sekitar 2 juta tahun yang lalu), Plato Tibet telah mencapai ketinggian 1000-2000 m, dan fosil-fosil hutan konifer alpina telah mengganti tanaman-tanaman subtropis. Lalu selama satu juta tahun berikutnya (Plistosen Bawah) terjadi pengangkatan Plato Tibet dan SW China dengan laju yang sangat cepat , hutan-hutan konifer lenyap dan menjadi lahan stepa alpina yang luas dan kering serta membuat Plato Tibet dan SW China menempati ketinggian seperti sekarang 4000-6000 m.


Progressive desertification (proses desertisikasi berjalan) di Plato Tibet dan SW China ini sejalan dengan ongoing collision (benturan berjalan) antara India dengan Asia yang melebarkan Asia setelahnya, mengangkat Plato Tibet dan sekitarnya. Sebelum benturan ini, area Tibet dan Takla Makan berelevasi rendah saja dan terletak dekat dengan laut yang semula ada memisahkan India dan Asia. Lalu ketika benturan mulai terjadi, akhirnya laut ini menyempit sampai akhirnya menghilang, dan terangkat menjadi Pegunungan Himalaya, sehingga posisi Takla Makan –SW China dan Tibet jauh dari laut, dan menjadi beriklim kontinental.

Pengangkatan yang berhubungan dengan benturan kemudian mengintensifikasi proses desertifikasi dengan mengangkat Tibet ke zona iklim yang makin kering dan makin dingin. Pegunungan Himalaya pun makin terangkat dan akhirnya menjadi pegunungan paling tinggi di dunia. Pegunungan Himalaya lalu menjadi penghalang/barrier udara lembab angin monsoon dari Samudera Hindia mengalir ke utara, sehingga Tibet dan Takla Makan tak mendapatkan kelembaban tersebut. Hujan yang berhubungan dengan angin monsoon ini hanya terjadi di sisi selatan Himalaya, yaitu India atau Nepal, sementara Tibet dan Takla Makan, SW China berada di wilayah bayangan hujan, yang membuatnya hanya bercurah hujan < 250 mm setahun, sementara India bisa 2000-4000 mm setahun.

Pegunungan Himalaya menjadi barier antara wilayah India yang lembab dan panas dengan wilayah Tibet dan SW China yang dingin dan kering. Maka bisa dikatakan bahwa gurun dingin- frigid Plato Tibet dan gurun kering panas Takla Makan, SW China terjadi karena tektonik benturan antara India dengan Asia, sehingga Tibet dan Takla Makan tak mendapatkan udara lembab dari Samudera Hindia sebab dihalangi pegunungan hasil benturan Himalaya, membuat Tibet dan Takla Makan berada di wilayah bayangan hujan, dan jauh dari laut mendekati interior kontinental.


Begitulah sebuah proses geologi bernama tektonik yang terjadi selama sekitar 50 juta tahun mengubah Tibet dan Takla Makan, SW China yang semula beriklim lembab panas dekat laut dengan ketinggian 500-1000 m dengan tanaman dan hewan seperti di Indonesia pada Eosen dan Oligosen, menjadi seperti sekarang Plato Tibet yang frigid pada ketinggian 4000-6000 m, didominasi stepa, dan Takla Makan yang merupakan gurun yang panas – a tectonic desertification.***

Sumber : awangsatyanablog

Post a Comment

0 Comments

close