About Me

header ads

Extrusion – Escape Tectonics Of Sundaland



Bila kita memperhatikan Benua Asia di sisi tenggaranya, di tempat Indonesia Barat atau lebih tepatnya Sundaland (meliputi: Indonesia Barat, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Indocina) berlokasi, nampak bahwa bagian ini terlalu menonjol sendiri ke selatan-tenggara. Dalam geografi, wilayah yang seperti ini disebut “promontory”, yaitu wilayah semenanjung yang menonjol keluar dari batas umumnya. Dalam geologi, wilayah yang seperti ini mestinya tak terjadi begitu saja, mesti ada penyebabnya mengapa ia berjalan terlalu jauh keluar dari batas umumnya. Bagaimana kejadiannya, berikut ini cerita tentangnya.

Adalah beberapa ahli geologi dari beberapa negara yang menekuni tektonik regional yang pada tahun 1970-an dan 1980-an meneliti dan mempublikasikan masalah “continental wrench tectonics”, yaitu sesar-sesar mendatar besar sekali yang melintasi benua-benua dan menggeser-gesernya. Yang paling terkenal dari sekumpulan para ahli tersebut adalah Tapponnier dari Prancis yang mengeluarkan teori “extrusion tectonics” (Tapponnier et al., 1982) berdasarkan penelitiannya atas India, Asia Timur, dan Asia Tenggara.

Sebelumnya, baik sendirian maupun bersama rekan-rekannya, Tapponnier meneliti sesar-sesar mendatar besar yang melintasi Cina di sebelah utara India yang tak jarang menyebabkan gempa-gempa sangat besar dan pernah menewaskan ratusan ribu penduduk Cina. Seorang ahli terkenal lainnya di kelompok ini adalah Molnar, yang meneliti benturan (collision) India atas Asia yang mungkin bertanggung jawab atas kejadian sesar-sesar besar di Cina itu.

Maka dua paper klasik dikeluarkan kelompok ini: Molnar and Tapponnier (1975): Cenozoic Tectonics of Asia: Effects of a Continental Collision” – Science v.189, p.419-426, dan Tapponnier et al. (1982): “Propagating Extrusion Tectonics in Asia: New Insights from Simple Plasticine Model – Geology v.10, p.611-616. Sebuah gambar terkenal dari Tapponnier et al. (1982) saya reproduksi sebagai lampiran tulisan ini.

Inti kedua paper ini adalah bahwa benturan India atas Asia telah menyebabkan pergeseran keluar (ekstrusi) beberapa blok kerak Bumi menjauhi area benturan, dengan cara bergeser melalui sesar-sesar mendatar besar dan pembukaan cekungan.

Kemudian para ahli lain mengembangkan dan mengaplikasikan Extrusion Tectonics ini ke wilayah-wilayah lain di seluruh dunia. Yang klasik tentang ini adalah paper dari Kevin Burke dan Celal Sengör (1986): “Tectonic Escape in the Evolution of the Continental Crust” - American Geophysical Union Geodynamic Series, no. 14, p. 41-53. Perhatikan bahwa Burke dan Sengör (1986) menyebut extrusion tectonics sebagai escape tetctonics – pengertiannya sama.
 
Paper saya berjudul “Post-Collisional Tectonic Escapes in Indonesia: Fashioning the Cenozoic History” –Proceedings PIT IAGI ke-35, yang saya publikasikan dan presentasikan di Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia di Pekanbaru, Riau pada November 2006 adalah paper pertama yang membahas aplikasi extrusion/escape tectonics di beberapa tempat di wilayah Indonesia. Abstrak paper ini ada di bagian bawah tulisan ini. Kala itu, saya membahas lima area benturan di Indonesia dan bagaimana sesar-sesar mendatar besarnya berasal mengikuti benturan itu: Sundaland, Pegunungan Tengah Papua, Kepala Burung, Sulawesi, dan Australia-Timor. Benturan dan escape tectonics di Sulawesi, yang saya pikir telah membalikkan badan Sulawesi telah saya tulis secara khusus artikelnya minggu lalu melalui FB. Dan kini saya akan bercerita bagaimana escape tectonics terjadi di Sundaland.

Pada sekitar 50 atau 45 juta tahun yang lalu, Sub-Kontinen India mulai membentur Asia di bagian baratdaya Cina. Benturan ini telah memperlambat laju gerak India ke utara, tetapi ia tidak menghentikannya. Sampai sekarang pun India masih bergerak ke utara, dan telah masuk mengindentasi (“menyodok masuk”) kerak Eurasia di sisi baratdaya Cina sampai sejauh 2500 km.

Benturan ini, banyak orang tahu, telah membentuk pegunungan paling tinggi di dunia, Himalaya, yang hampir 9000 meter tingginya menjulang ke langit. Jadi Pegunungan Himalaya adalah sebuah pegunungan hasil benturan, atau “suture” yaitu batas benturan dua massa kerak Bumi (dalam hal ini India vs. Asia baratdaya). Benturan India ini juga, banyak orang tahu, telah mengangkat Tibet menjadi dataran tinggi, plato, paling tinggi di dunia, di banyak tempat lebih dari 5000 meter.

Namun, para ahli memperhitungkan bahwa Pegunungan Himalaya harusnya bisa setinggi 12.000 meter karena benturan itu, mengapa lalu ia hanya sekitar 8800 meter, apakah puncak Himalaya sebagian dierosi. Erosi jelas terjadi, tetapi Himalaya pun masih bertambah tinggi sekitar 0,5 cm per tahun karena bagian depan kontinen India yang semula tenggelam dalam benturan tengah naik kembali (ekshumasi). Lalu mengapa ia lebih rendah daripada seharusnya? Karena, sebagian energi benturannya menjadi extrusion/escape tectonics yang “menendang” Asia Timur dan Sundaland bergerak masing-masing ke timur dan tenggara.

Dalam geologi, suatu gangguan gaya tak akan berhenti begitu saja. Kalau ada aksi maka selalu akan ada reaksi. Kalau ada yang diangkat, maka akan ada yang ditenggelamkan. Kalau ada yang dibenturkan masuk, maka akan ada yang ”ditendang” keluar. ”Tendangan” keluar adalah escape tectonics, atau extrusion tectonics. Cina dan Asia Tenggara/Sundaland dikoyak-koyak dan dimodifikasi geologinya oleh escape structures. Dan, sesar2 mendatar besar di Cina adalah escape tectonics, sekaligus penebar malapetaka: Altyn Tagh Fault, Nan Shan Fault, Karakorum Fault, Shansi graben (transtension) adalah wilayah-wilayah sesar mendatar besar yang menjadi sarang pusat-pusat gempa besar. Dan di Sundaland, banyak sekali sesar-sesar mendatar besar yang juga tak jarang menjadi pusat-pusat gempa: Sesar Sumatra, Red River Fault, Three-Pagoda, Mae Ping Fault dan sebagainya. Escape structures yang lain adalah pembukaan cekungan-cekungan, baik hanya menipiskan kerak benua (Selat Makassar) maupun memisahkan kerak benua sampai muncul kerak samuderanya (Laut Andaman, Laut Jepang, Laut Cina Selatan).

Dengan cara extrusion/escape tectonics melalui sesar-sesar mendatar besar dan pembukaan beberapa cekungan menjadi laut atau samudera kecil, blok-blok kerak Bumi bergeser ratusan sampai lebih dari 1000 km ke arah luar (ke arah sisi samudera yang bebas terbuka –free oceanic edge) menjauhi pusat benturan. Maka dengan cara inilah Sundaland bergerak sekitar 750 km ke arah tenggara melalui sesar-sesar besar di Indocina (Red River Fault, Three-Pagoda, Mae Ping Fault), Sesar Sumatra, Sesar Lupar-Adang-Paternoster di Kalimantan dan Selat Makassar, pembukaan Laut Cina Selatan, dan Laut Andaman.
Yang tidak diketahui oleh Tapponnier dkk. pada masa itu adalah terrane tectonics, sebab terrane tectonics berkembang pada akhir 1980-an, tetapi teori ini tidak melawan extrusion/ escape tectonics, justru mengakomodasinya, yaitu bahwa sesar-sesar mendatar besar post-collision itu terjadi tidak di sembarang tempat di kontinen, tetapi di batas-batas terranes yang berbenturan (dalam teori terrane tectonics: kontinen itu dibangun oleh banyak terranes yang saling berbenturan), atau di wilayah-wilayah suture, yaitu zona lemah. Jelas, bahwa sutures ini terbuka kembali, direaktivasi, menjadi sesar-sesar besar extrusion/escape tectonics. Di Sumatra maupun Kalimantan pun begitu, Sesar Sumatra terjadi di suture benturan antara terrane Woyla di tepi barat Sumatra dan terrane Mergui di badan utama Sumatra. Sesar Lupar-Adang-Paternoster juga terjadi di ujung terrane Schawaner dan Paternoster.


 
Apakah teori escape/extrusion tectonics ada yang membantahnya? Tentu saja ada, biasalah itu dalam dialektika ilmu pengetahuan.
Misalnya, Dewey et al. (1989) atau Houseman and England (1993). Mereka menolak bahwa sesar-sesar besar di Asia itu akibat benturan India atas Asia. Menurut mereka, benturan ini hanya menebalkan kerak di sekitar benturan berupa Pegunungan Himalaya dan tidak dikompensasi oleh escape structures.

Argumen menarik, tetapi penebalan kerak di sekitar Himalaya dan Tibet Plateau akibat benturan India-Asia itu telah diteliti dan dilakukan pemodelan struktur melalui restored dan balanced cross section.

Bukti-bukti geofisika dari pola magnetic stripes di Lautan Hindia, mengindikasi bahwa gerak sub-benua India ke utara relative terhadap Asia telah mengalami perlambatan yang signifikan pada sekitar 50-45 Ma (juta tahun yang lalu) dari 10 cm per tahun menjadi 5 cm per tahun. Perlambatan laju gerak massa sub-benua ini berlanjut sampai sekarang (tentu saja karena India sampai sekarang pun masih membentur Asia). Sebagai akibatnya, benturan ini telah melibatkan konvergensi/benturan sepanjang 2500 km yang melibatkan berbagai massa kerak (India, Tethys Sea –yaitu laut semula di antara India dan Asia, dan Asia). Pemendekan dan penebalan kerak akibat konvergensi terjadi, itulah yang menghasilkan Pegunungan Himalaya dan Plato Tibet, tempat-tempat tertinggi di permukaan Bumi.
Namuni, penebalan dan pemendekan kerak akibat konvergensi, menurut penelitian deformasi struktur, kehilangan massa sekitar 30 %. Artinya, penebalan kerak di bawah Pegunungan Himalaya dan Plato Tibet itu mestinya 30 % lebih tebal atau 30 % lebih pendek, atau Pegunungan Himalaya itu mestinya tingginya 30 % lebih tinggi dari ketinggian sekarang. Kemana larinya "mass defect" itu ? Hukum alam mempostulasikan bahwa massa itu kekal, tak bisa dihilangkan.

Kemudian, ke utara dari Plato Tibet, masuk ke daratan besar Cina, banyaklah episentrum gempa terjadi. Menariknya, episentrum gempa-gempa besar ini tidak terjadi di tepi konvergensi lempeng India-Eurasia, tetapi justru intra-plate epicentrum pada Eurasian Plate. Rupanya, setelah dilakukan pemetaan besar-besaran menggunakan citra satelit pada tahun 1970-an, baru diketahui bahwa episentrum-episentrum gempa besar intra-plate ini terjadi di sepanjang sesar-sesar besar mendatar yang ratusan km panjangnya.
Kembali ke massa 30 % yang hilang akibat benturan India-Asia, dan banyaknya sesar mendatar besar di daratan Cina, Indocina, dan Sundaland (Altyn-Tagh; Red-River Fault, Three Pagoda Fault, Wang Chao Fault, Sumatra Fault, dll), dan terjadinya "promontory" SE Asia yang "terekstrusi" ke tenggara dari massa utama Asia membuat argumen baru : "30 % missing material from India-Asia collision must have been extruded or "escaped" eastwards and southeastward" .

Maka argumen penebalan kerak dari Dewey et al. (1989) dan Houseman dan England (1993) telah dilawan oleh kenyataan bahwa 30 % massa akibat benturan tak terpendekkan atau tak tertebalkan, tetapi "lari" (ekstrusi, escape) secara lateral ke arah timur dan tenggara - inilah escape tectonics. Berapa jauh larinya ? Secara sederhana, mungkin 2500 km konvergensi x 30 % = 750 km.

Ian Longley - regionalist SE Asia dan Robert Hall dari SE Asia Research Group University of London pun meragukan extrusion/escape tectonics terjadi pada Paleogen di Sundaland, mereka lebih cenderung mengatakan bahwa extrusion tectonics itu terjadi pada Neogen.
Argumen atas ini bisa menggunakan prinsip geometri extrusion tectonics dari Molnar dan Tapponnier (1975). Prinsip geometri ini mengatakan bahwa ekstrusi itu terjadi ke sisi “free oceanic edge” yaitu sisi samudera yang masih bebas, artinya belum tertutup benua. Maka tak mungkinlah bahwa escape tectonics di Sundaland terjadi pada Neogen sebab: (1) saat itu tak ada free oceanic edge di sisi timur Indonesia sebab sudah mulai tertutup oleh benua Australia yang sudah menutup samudera bebas, (2) energi benturan India-Asia paling besar (hard collision) terjadi pada Paleogen (Hutchison, 1989), bukan Neogen sehingga pada Neogen kecil kemungkinan terjadi escape –Sesar Sumatra bergerak sekarang bukan oleh post-collision escape tectonics, tetapi oleh subduksi miring di sebelah barat Sumatra, juga pembukaan Laut Andaman sekarang, (3) pada Neogen di banyak tempat di Sundaland yang terjadi justru adalah inversi/kompresi yang otomatis akan menahan apa pun extrusion/escape tectonics, (4) pembukaan cekungan-cekungan sedimen di Sumatra, Natuna, Jawa bagian barat, dan Kalimantan-Selat Makassar-Sulawesi Selatan-Bone banyak diakibatkan tensional stress akibat sesar mendatar pada Paleogen, dan sesar mendatarnya sendiri pun merupakan escape structures.
 
Demikian, menurut hemat saya extrusion/escape tectonics adalah suatu penjelasan yang elegan tentang Hukum Newton aksi-reaksi dalam tektonik benua. Dan Indonesia adalah wilayah yang baik untuk menguji dan membuktikan teori ini, dan pengujian saya atas aplikasi teori ini di Indonesia muncul dalam paper saya, Satyana (2006), yang abstraknya seperti di bawah ini (dimodifikasi, berdasarkan penelitian terbaru). ***

PROCEEDINGS PIT IAGI RIAU 2006,
The 35th IAGI Annual Convention and Exhibition
Pekanbaru – Riau, 21-22 November 2006
POST-COLLISIONAL TECTONIC ESCAPES IN INDONESIA: FASHIONING THE CENOZOIC HISTORY
Awang Harun Satyana (BPMIGAS)
ABSTRACT

Post-collisional tectonic escape refers to the lateral escape or extrusion of fault-bounded geological blocks as a result of collision away from the collision zone and towards free edge of oceanic margin. While the collision zone is represented by fold-thrust belts, the tectonic escape is accommodated by large strike-slip faults and rifting and spreading of basement.
There are five significant collisional events fashioning the Cenozoic tectonics of Indonesia.
The first was collision of India to Eurasia started at 50 or 45 Ma (early-middle Eocene). The collision resulted in the Himalayan collisional suture and was followed by the escape of the Sundaland southeastwards through major strike-slip faults and the formation of sedimentary basins in the Sundaland as well as the opening of marginal seas of the South China Sea and Andaman Sea. The faults occupied and reactivated Mesozoic sutures within the Sundaland. The faults are Red River Fault-Sabah Shear, Tonle-Sap-Mekong (Mae Ping) Fault, Three Pagoda Fault-Malay-Natuna-Lupar Line-Adang Fault, and the Sumatran Faults.
The second collision occurred at about 25 Ma (late Oligocene) when an oceanic island arcs constructed on the southern margin of the Philippine Sea Plate collided with the northern margin of Australia Continent. The collision resulted in fold-thrust belt of the Papua Central Ranges and was followed by tectonic escapes of strike-slip faults and basin formation. The faults are Sorong-Yapen Fault, Waipoga Fault, Gauttier Offset, and Apauwar-Nawa Fault. Opening of the North Irian Basin in northern Papua also shows the post-collision tectonic escapes.

The third collision was the collision of the Bird’s Head microcontinent with Papua at 10 Ma (late Miocene). The Lengguru Fold-Thrust Belt marks the collision zone. Strike-slip faults away from the collision zone like the Tarera-Aiduna, Sorong, Waipoga, and Ransiki Faults may demonstrate the post-collision tectonic escape. The Bintuni Basin located just to the west of the Lengguru Fold-Thrust Belt is a foreland basin developing as a response to post-collision extensional structure.

The fourth collision occurred from 11 to 5 Ma (late Miocene to earliest Pliocene) when the Buton-Tukang Besi and the Banggai-Sula microcontinents collided East Sulawesi ophiolite. The collision has formed Batui Fold-Thrust Belt and was followed by post-collision tectonic escapes in forms of rotation of arms of Sulawesi, formation of major strike-slip faults of Palu-Koro, Kolaka, Lawanopo, Hamilton, Matano, and Balantak Faults, and the opening of the Gulf of Bone. More recent transtensional movement is responsible for the opening of pull-apart basins of Poso, Matano and Towuti Lakes, as well as the Palu Depression.
The last collision commenced at about 3 Ma (mid-Pliocene) when northern margin of Australia Continent collided Banda Island Arc. The collision resulted in foreland fold-thrust belt from Timor, Tanimbar to Seram. Lateral extension is observed to follow the arc-continent collision indicating a tectonic escape. Major strike-slip faults were formed sub-paralleling the Timor Island. Extensional crustal collapse followed the arc-continent collision and has resulted in the formation of the Weber Deep, Savu Basin, and opening of the Banda Sea .

The cases in Indonesia show that tectonic escape is a widespread process and may have been very important in the evolution of convergent region like Indonesia. The concept of tectonic escape can contribute to the understanding of the process by which continents are assembled and slivered.

Sumber : awangsatyanablog

Post a Comment

0 Comments

close