About Me

header ads

Gambut Indonesia yang Luas Tersebar dan Sangat Mudah Terbakar

Foto Hamparan Gambut di Ketapang Kalimantan Barat.

" Di Indonesia, gambut sudah lama dimanfaatkan. Lahan gambut digunakan untuk lokasi bandar udara di berbagai tempat di Pulau Kalimantan. Bandara Syamsuddin Nurdi Banjar Baru, Kalimantan Selatan, menjadi bandara pertama di atas lahan gambut pada masa penjajahan Belanda. Untuk membangunnya digunakan kayu ulin sebagai bahan dasar konstruksi landasan pacu, sehingga dikenal sebagai Bandara Ulin. Belanda juga mengubah lahan gambut menjadi kebun sawit di Deli (Sumatra Utara) dan Bumi Tamiang (Aceh) "

Pada awal pelaksanaan program Pelita (Pembangunan Lima Tahunan) Pertama 1969/1970- 1974/1975, lahan gambut di Desa Gambut, Kabupaten Banjar, dijadikan persawahan untuk meningkatkan produksi padi melalui program swasembada pangan. Pemerintah kemudian membuka lahan sejuta hektar di Pulang Pisau, Kalimantan Selatan. Bahkan pernah dikembangkan untuk pembangkit tenaga listrik, yaitu di Palangkaraya, dengan bantuan teknik dari Finlandia pada 1986. Sejak itu, perubahan lahan gambut menjadi perkebunan, terutama sawit, dimulai. Kini, banyak lahan gambut telah menjadi perkebunan sawit, seperti di Aceh, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, dan Kalimantan.

Dari perjalanan waktu, tampak bahwa lahan gambut telah menjadi pilihan untuk pengembangan lahan transmigrasi, perkebunan, perumahan, pengairan, dan lainnya. Hal ini karena Indonesia tidak lagi memiliki lahan lain yang luas, datar, dan kaya sumber air untuk pengembangan berbagai lingkungan binaan, selain lahan gambut. Namun, pengembangan lahan gambut sebenarnya lebih cocok untuk penyediaan sumber air dan sumber energi. Sementara itu, sifat gambut yang mudah terbakar dan akibat penambangan atasnya menjadi ancaman keberadaan lahan gambut dan lingkungannya, sehingga konservasi menjadi sangat diperlukan.

Pengertian

Gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang telah mati dan mengalami perombakan (secara kimia, fisika, dan biologi) yang mengandung minimal 12% sampai dengan 18% karbon organik, dengan ketebalan minimal 50 cm. Dalam taksonomi ilmu tanah, ada juga yang disebut tanah gambut. Istilah gambut dapat bermakna ganda yaitu sebagai bahan organik (peat), dan sebagai tanah organik (peat soil).

Gambut sebagai bahan organik adalah sumber energi dan media perkecambahan biji tanaman dan pupuk organik. Sedangkan sebagai tanah organik, gambut digunakan untuk lahan bagi berbagai kegiatan pertanian yang dapat dikelola dalam sistem usaha tani. Terdapat tiga macam bahan organik tanah
yang dikenal berdasarkan tingkat dekomposisi bahan tanaman aslinya, yaitu fibrik, hemik dan saprik.

Mirip dengan pengertian itu adalah definisi sebagaimana dideklarisasikan dalam Kongres Ilmu Tanah Internasional di Rusia pada 1930, yakni gambut (peat) adalah sebagai bahan organik tanah dengan kedalaman 0,5 meter dan luasnya minimal satu hektar. Selanjutnya, Anderson (1964) menambah pengertian tersebut di atas dengan kalimat: “jumlah mineral maksimum 35%”. Apabila komposisi mineral antara 35% sampai dengan 65% disebut gambul (muck). Buckman dan Brady (1956) membedakan gambul dan gambut berdasarkan kandungan bahan organik, bila kandungan organik antara 18% hingga 50% dinatakan sebagai gambul dan jika lebih disebuit gambut. Menurut Kanapathi (1975) kandungan fraksi mineral tanah gambut kurang dari 35%, sedangkan gambul antara 35% hingga 55%.

Sedangkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Kepres No. 32/1990) menyatakan bahwa kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama dan kritera berupa tanah gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.

Gambar Penggunaan lahan gambut dengan kanalisasi tanpa sekat yang mengakibatkan air bertambah rendah sehingga permukaan gambut kering dan mudah terbakar. Tampak jejak kayu dalam endapan gambut.

Sebaran Gambut

Gambar Penggunaan lahan gambut dengan kanalisasi tanpa sekat
yang mengakibatkan air bertambah rendah sehingga permukaan gambut kering dan mudah terbakar.
Tampak jejak kayu dalam endapan gambut.
Gambut terdapat di seluruh permukaan bumi dengan luas sekitar 394 juta hektar (Ha). Lahan gambut terluas terdapat di Kanada, 170 juta Ha, Rusia (150 juta Ha), Amerika Serikat (40 juta Ha), Indonesia (26 juta Ha), Finlandia (10,40 juta Ha), dan sisanya tersebar di berbagai negara. Finlandia merupakan negara yang membangun pembangkit listrik berbahan bakar gambut terbaik di dunia.

Di daerah tropis, terhampar gambut seluas 31 juta Ha yang tersebar di Asia, Amerika, dan Afrika. Di Indonesia, gambut merupakan jenis tanah terluas kedua yang tersebar di pantai timur Sumatra, pantai selatan dan barat Kalimantan, pantai selatan Papua, dan sedikit di Sulawesi, Maluku, dan Jawa. Berdasarkan Peta Tanah Indonesia (1976), gambut termasuk dalam satuan lahan rawa yang luasnya mencapai 35,0 juta Ha yang terdiri dari lahan pasang surut, lahan gambut dan lahan mineral (marin dan tawar).

Menurut Polak (1952), lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 16 juta Ha. Sedangkan berdasarkan perkiraan Departemen Pertambangan dan Energi (1989) luas gambut Indonesia mencapai 17 juta Ha dengan perkiraan cadangan mencapai 170 miliar meter kubik gambut dengan asumsi ketebalan ratarata 1,0 meter. Dengan terbitnya SNI Cadangan dan Sumber Daya Mineral dan Batubara, cadangan gambut ini diklasifikasikan sebagai sumber daya hipotetik. Saat ini Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi, menerbitkan Peta Sebaran Lokasi Gambut Indonesia Satus 2011 sekala 1:5.000.000, yang memuat sebanyak 62 lokasi keterdapatan gambut, disertai keterangan sumber daya dan nilai kalorinya masing-masing.

Dengan demikian terdapat perbedaan-perbedaan angka. Sesungguhnya, sebaran dan luas lahan gambut sukar dibatasi dengan penyelidikan dan pemetaan
biasa di lapangan. Perkiraan luas gambut akan lebit akurat jika dibantu dengan foto sateli teknik penginderaan jauh. Teknik pengideraan jauh dapat menentukan batas-batas sebaran hutan primer, hutan rawa, hutan campuran dan padang alang-alang, juga kubah (dome) gambut. Bahkan kerapatan vegetasi, tingkat kesuburan, dan pola aliran air sungai, dan geomorfologi gambut juga dapat dikenal dengan baik melalui penggunaan teknik inderaja ini.

Pembentukan dan Sifat

Secara geologis gambut dapat terjadi di daratan rendah, daratan tinggi, atau pegunungan dengan iklim tropis, sedang dan dingin. Karena itu, jenis gambut bergantung lingkungan pengendapan bahan penyusunnya. Komposisi tumbuhan juga tergantung adaptasinya terhadap iklim sehingga endapan gambut yang dihasilkan juga berbeda. Untuk mengetahui terjadinya dan jenis gambut, maka harus direkonstruksi kejadiannya pada masa lampau dengan sekala waktu ribuan tahun lalu, terutama saat sejumlah besar air laut masuk kedaratan yang tinggi bahkan sampai ke pegunungan es yang tinggi. Selanjutnya,
direkontruksi pula saat air surut dan meninggalkan massa tumbuh-tumbuhan berukuran raksasa.

Pembentukan gambut di Sumatra, Kalimantan, dan Semananjung Malaysia dimulai sesudah Zaman Glasial Panas yang mencairkan es kutub utara dan kutub selatan bumi. Saat itu air dalam jumlah besar mengalir ke lautan bebas mengakibatkan sebagaian besar dataran rendah di Pulau Sumatra, Kalimantan tergenang air. Pulau-pulau pun terbentuk diikuti terbentuknya dataran pantai dan rawa-rawa, seperti yang ada di daerah pantai timur dan pantai barat Sumatra, dan bagian selatan Kalimantan. Dataran pantai dan rawa ini ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan yang cocok dengan kondisi pada saat itu. Pada awalnya tumbuhan rawa sejenis bakau tumbuh dengan cepat mengisi cekungan-cekungan. Tumbuhan ini adalah bahan pembentuk gambut. Adanya proses sedimentasi dan progradasi menyebabkan garis pantai cenderung bertambah maju ke arah laut, daratan pun meluas.


Suasana saat malam hari, kebakaran kubah gambut
yang ketebalan lebih dari 5 meter.
Saat permukaan laut stabil, terjadi pengendapan organik bercampur lumpur liat seperti lempung, lanau dan pasir dan membentuk dataran pantai yang luas dengan lumpur atau lempung halus yang mengandung pirit (FeS2) bertekstur halus, tidak berkapur di bawah tanaman bakau. Sungai-sungai lebar memotong dataran rendah dengan membentuk tanggul lumpur liat di antara dua sungai besar yang menbentuk cekungan-cekungan sedimentasi yang penuh dengan air. Di tempat lain mungkin terbentuk gambut topogenus atau eutropic, yaitu gambut yang dibentuk pada lembah dan diendapkan dari sisa tumbuhan yang hidupnya pada tanah mineral yang kaya kandungan air yang berasal dari penghumusan sisa-sisa tumbuhan.

Pembentukan kubah gambut (peat domes) biasanya dimulai dengan gambut topogenus. Selanjutnya gambut bertambah tebal, akar tanaman bertambah sukar untuk mencapai tanah, dan bersamaan itu juga terjadi banjir yang mengakumulasikan gambut dalam bentuk kubah sebagai gambut ombrogenus. Kadar abu dari gambut ini adalah asli (inherent) dari tumbuhan itu sendiri dan dikenal sebagai gambut oligotrophic atau gambut miskin bahan nutrisi. Oleh karenanya tumbuhan kurang subur dan lambat pertumbuhannya.

Perlu juga diketahui bahwa endapan gambut mungkin berupa tumpukan tanaman. Gambut di Ketapang, Kalimantan Barat, misalnya, memperlihatkan tumpukan kayu. Dalam kondisi normal, kayu mengapung di permukaan air dan mengikuti asas isostasi. Maksudnya, di dalam air kayu akan muncul sepertiga di permukaan dan duapertiganya lagi tenggelam. Jadi, dengan kaidah isostasi, bisa diperkirakan ketebalan minimal gambut.

Sifat fisik yang harus terpelihara pada (lahan) gambut adalah basah. Gambut mudah kering bila sumber airnya hilang akibat pembuatan kanal yang memotong kontur rupa bumi. Bila kanal tidak dibuat sejajar kontur rupa bumi supaya air tertahan, maka bisa mengakibatkan gambut yang letaknya lebih tinggi akan kering. Bila sangat kering, maka gambut tidak akan bisa basah kembali. Hal ini disebabkan gambut tidak mampu menyerap air kembali (irreversible). Secara kimiawi, gambut juga mengandung sulfur yang terbentuk dari mineral pirit bertekstur halus, dan nilai panas atau kalori. Oleh karenanya, gambut harus basah selamanya.

Berdasarkan hasil pengumpulan data oleh BPP Teknologi (1994), diketahui bahwa beberapa endapan gambut di Indonesia memiliki kadar belerang (S) yang tinggi dalam kondisi kering (adb). Kadar S pada gambut di Rawa Mesuji, Tulang Bawang, Lampung, berkisar 0,72% – 5,2%; di Desa Gambut, Banjar, Kalsel, antara 0,4% – 6,20%; di Riau 0,10% – 0,60%; di Jambi 0,21% – 0,77%, di Sumatera Selatan 0,10% – 0,54%, dan Kalampangan, Kalimantan Tengah 0,04% – 0,16%.

Menurut penulis, kadar belerang ini yang mengakibatkan gambut mudah terbakar. Proses kejadiannya hampir sama dengan kebakaran batubara berkadar belerang yang terjadi dalam tongkang dan stockpile batubara, akibat panasnya sinar matahari. Gambut pada musim kemarau sangat panas, karena mengalami kenaikan tempertur. Bila tercapai kondisi tertentu, maka akan terbakar. Sifat fisik batubara atau gambut yang mengandung belerang sama halnya dengan bahan peledak yang terbuat dari arang kayu/ batubara yang dicampur dengan berlerang yang biasa digunakan untuk pembuatan korek api dan bom ikan.

Kebakaran

Kebakaran lahan gambut menjadi berita tanpa akhir dan menjadi bencana besar dalam sekala regional Asia Tenggara dan Asia Selatan. Tahun 2015, kebakaran lahan gambut sangat luas dan menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai Rp. 200 trilyun lebih. Kebakaran ini disebabkan terjadinya fenomena el-Nino yang ditandai dengan musim kemarau yang tidak normal yang terjadi secara periodik antara 4 – 5 tahun. El-Nino terparah sebelumnya terjadi pada 1997/1998 yang mengakibatkan lahan gambut dan hutan terbakar. Kebakaran gambut juga terjadi karena disengaja untuk pembuatan kebun sawit. Terbakarnya gambut secara sengaja terjadi pada Perang Vietnam sebagai strategi menghancurkan lawan.

Usaha pemadaman api di lahan gambut, jika terlambat dilakukan, atau apinya telah jauh masuk kelapisan dalam gambut, akan sulit untuk dipadamkan. Selain itu, hambatan utama yang dihadapi dalam usaha pemadaman adalah sulitnya memperoleh air di dekat lokasi kejadian dalam jumlah besar serta akses menuju lokasi kebakaran sangat berat. Pemadaman api di lahan gambut yang kebakarannya sudah parah/meluas hanya dapat ditanggulangi secara alami oleh air hujan yang deras. Hal ini terbukti pada kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Riau yang bisa padam hanya setelah hujan besar melanda kedua daerah tersebut.

Luas kebakaran gambut pada 1997 diperkirakan melebihi 1 juta Ha. Menurut Tacconi (2003), luas hutan payau dan gambut Indonesia yang terbakar pada 1997/1998 diperkirakan mencapai 2.124.000 Ha. Kebakaran di lahan gambut sangat sulit diatasi dibandingkan dengan kebakaran yang terjadi di daerah bukan gambut. Api yang terdapat di dalam lapisan lahan gambut (ground fire) yang berada di bawah permukaan sangat sulit diketahui sebarannya karena tidak dapat dilihat dari permukaan. Lahan gambut miskin dengan unsur hara yang berguna untuk tanaman, namun sekarang lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan menjadi lahan pertanian dan perkebunan sekala besar akibat kebakaran hebat dan luas pada 2015 yang sebenarnya telah dimulai sejak 2014. Kebakaran beruntun ini termasuk sangat parah.

Kelompok Petani karet di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau berhasil mempertahankan kebun karet mereka yang berada dalam kawasan lahan gambut yang terbakar pada 2015. Sejak 2012, Kelompok ini membagun 18 sumur bor untuk menyemprot lahan perkebunan supaya gambut tetap basah, berpatroli siang-malam, dan berjibaku memadamkan api pada periode Agustus-Oktober 2015. Sebanyak 1.500 hektar areal gambut pun akhirnya berhasil diselamatkan. Caranya, satu sumur bor yang dibuat di tepi kebun yang berbatasan dengan lahan terlantar dan rawan terbakar mengamankan 50 Ha kebun karet. Kedalaman sumur bor tersebut antara 24 meter hingga 30 meter dengan jarak antar sumur 400 meter. Sumur bor dibuat karena saluran air kering dalam musim kemarau.

Kebakaran lahan gambut menjadi sangat menarik perhatian. Hal ini disebabkan karena lahan gambut di Indonesia telah ditetapkan sebagai hutan lindung dan dijadikan komitmen pemerintah Indonesia dalam rangka penurunan emisi gas karbon sebesar 26% hingga 41% sampai tahun 2020 dengan dukungan dana dari lembaga internasional. Komitmen ini merupakan salah satu hasil dari Konfrensi Negaranegara G-20 pada Oktober 2009 di Pitsburg Amerika Serikat. Dalam konfrensi ini, Indonesia mendapatkan dana hibah sebesar satu miliar dolar AS melalui Program Reducing Emmission Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) dari Norwegia dan potensi dagang karbon untuk perbaikan lahan gambut.

Akibatnya Badan Geologi, mulai 2010, tidak melakukan penelitian endapan gambut untuk kepentingan rekomendasi wilayah izin usaha pertambangan gambut sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal beberapa negara Nordik seperti Finlandia telah menggunakan briket gambut dan endapan gambut tanpa olahan sebagai sumber energi primer untuk pembangkit listrik dengan sistem panen gambut secara berencana dan teratur. Walau demikian, Badan Geologi tetap menerbitkan Peta Sebaran Lokasi Gambut sekala 1: 5.000.000 pada 2011 yang meliputi 62 lokasi. Walau pun tidak terlalu rinci, namun data geologi, potensi, ketebalan, dan lingkungan pengendapan gambut seperti kubah gambut yang disajikan Badan Geologi ini setidaknya dapat digunakan sebagai acuan dalam program restorasi gambut.


Lahan gambut setelah terbakar dengan ketebalan kurang dari satu meter
Dilema Konservasi

Mengingat kerugian yang besar akibat kebakaran lahan gambut, dan kalaupun dapat dipadamkan hal itu memerlukan biaya yang besar, maka lahan gambut perlu dilindungi dan yang rusak akibat kebakaran dan perubahan fungsi lahan perlu direstorasi. Tujuan perlindungan lahan gambut, sebagaimana Keppres No. 32/1990, adalah untuk mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan.

Gambut perlu dikonservasi sebab eksploitasi gambut dikhawatirkan akan menyebabkan gambut lepas dari dasar dudukannya karena gaya isostasi. Lahan gambut sebenarnya merupakan sebuah rakit besar yang terbuat dari batang kayu, dahan kayu, daun tumbuhtumbuhan yang mengapung dalam air. Sebagai gambaran, gambut dengan tebal sembilan meter, maka tigameter daripadanya berada diatas muka air tanah di permukaan. Bila lahan gambut di permukaan ini ini dipanen/ditambang, maka sisa gambut di bawah permukaan yang setebal enam meter akan terangkat ke atas akibat gaya isostasi hidrostatik. Dari enam meter gambut yang terangkat ini, setebal dua meter akan berada diatas muka air, dan sisanya setebal empat meter akan terlepas dari dasar tanah yang sangat membahayakan untuk pertambangan dan kegiatan lainnya. Bergelombangnya jalan raya antara Pontianak dan Mempawah di Sungai Raya adalah akibat endapan gambut di bawah badan jalan tersebut.

Permasalahan penambangan gambut sama dengan panas bumi. Istilah penambangan dan ijin usaha pertambangan perlu ditinjau ulang. Kalau memang harus direstorasi, ada baiknya gambut dikeluarkan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 yang memasukkan gambut sebagai bagian dari batubara. Di sisi lain, pemikiran bahwa gambut itu adalah sumber energi biomassa kiranya lebih tepat karena gambut secara fisik merupakan kumpulan limbah kayu yang terbentuk secara alami. Sementara itu, gambut diminati juga sebagai bahan bakar untuk keperluan sumber energi PLTU, terutama di daerah terpencil. Berdasarkan sebuah kajian, gambut di daerah terpencil akan mampu bersaing dengan pembangkit listrik BBM.

Pada 2016 Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. BRG dibentuk dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis lahan gambut akibat kebakaran secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh.

Dalam lima tahun, BGR ditargetkan melakukan restorasi ekosistem gambut seluas 2.000.000 Ha. Lokasi pelaksanaannya dimulai di empat kawasan gambut prioritas, yaitu Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah; Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Di keempat daerah prioritas ini, Badan Geologi melalui Pusat Sumber Daya Geologi (kini Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi) juga telah memetakan potensi gambut untuk kepentingan bahan bakar. Terlepas dari pertentangan antara konservasi dan penambangan, yang pasti endapan gambut di keempat wilayah tersebut saat ini telah terbakar dan rusak parah. (Teuku Ishlah)

Penulis adalah Perekayasa Madya Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumii, Badan Geologi, KESDM.

Sumber : Sumber : Sumber : GeoMagz

Post a Comment

0 Comments

close