Malam ini Candi Borobudur meriah dikunjungi ribuan orang, baik yang hendak merayakan hari kelahiran Buddha/Waisak, maupun para pengunjung yang berwisata ingin melihat ritual perayaan itu. Sayang hujan mengguyur area Borobudur, sehingga beberapa ritual di tempat terbuka barangkali tidak jadi dilakukan. Pada Waisak tahun lalu, saya melihat sebagian ritual ini di pelataran Borobudur.
Berikut sedikit tulisan lagi tentang Borobudur, terutama berdasarkan sebuah buku dari seorang mantan menteri pendidikan dan kebudayaan (P&K) yang setengah dari usia hidupnya diperjuangkannya untuk Borobudur.
Candi Borobudur, Jawa Tengah, mesti mempunyai kesan yang sangat kuat dalam diri Daoed Joesoef, mantan menteri P & K 1978-1983. Daoed muda tahun 1953 pernah mengunjungi candi ini dan menemukan bagunan kuno yang seram, tak terurus, kotor, penuh sampah, dan tempat berpacaran saja. Sejak saat itu, bayangan ngeri tentang Borobudur yang semrawut menghantui pikirannya.
Waktu kuliah di Prancis awal 1970-an, Daoed menemukan bahwa Unesco, badan PBB yang bermarkas besar di Paris, punya dana bagi rehabilitasi bangunan2 kuno yang punya nilai sejarah yang tinggi. Maka mulailah perjuangan Daoed menegosiasikan pentingnya rehabilitasi Borobudur. Dan, akhirnya Borobudur berhasil mendapatkan dana tersebut, memenangkan persaingan dengan kota air Venesia dan Mohenjodaro di Pakistan. Maka, dipugarlah Candi Borobudur 10 tahun lamanya, 1973-1983 (dana Pemerintah 2/3-nya, 1/3-nya sumbangan Unesco).
Tahun 2004, setelah lama pensiun dari kegiatan di badan2 Pemerintah RI, Daoed Joesoef menulis sebuah buku tentang sebuah candi yang menyita perhatiannya setengah umur hidupnya itu, "Borobudur" (Gramedia, 2004) - sebuah catatan tentang perenungan, perjuangan pemugaran, dan nilai seni, budaya, keilmuan sebuah candi Budha terbesar di dunia. Juga, catatan hitam tentang pengeboman candi ini oleh sekelompok ekstremis berlatar belakang agama (Januari, 1985).
Tulisan saya ini hanya akan mengemukakan posisi ”geomantik”. Semua bangunan yang "dimuliakan" tentu tidak asal letak posisi dibangunnya. Bangsa kita pun abad ke-9, tahun 825, sudah punya ilmu semacam itu – geomantik. Posisi geomantik Borobudur tak akan dapat dipahami kalau tidak menghubungkannya dengan dua candi di sebelah timurnya: Pawon dan Mendut. Borobudur-Pawon-Mendut membentuk satu garis lurus. Mendut, yang paling timur, dibangun di tepi timur Kali Elo. Pawon di tengah, di bangun 1 km ke barat di tepi barat Kali Progo. Dua kali ini membentuk huruf V, kedua candi dibangun sekitar 1 km di utara pertemuan kali, sehingga kedua kali bertemu di antara kedua candi di sebelah selatannya.
Mendut punya ruangan di dalamnya di mana ada patung Budha yang mungkin paling besar di Indonesia. Pawon punya ruangan juga tapi kosong melompong. Secara simbolik, Mendut adalah lambang perempuan, lebih2 lagi di gapura candi terdapat relief Hariti, dewi kekayaan yang sedang menyusui bayi. Pawon adalah lambang laki-laki dengan ruang kosong di dalamnya ditafsirkan sebagai tak memiliki kandungan. Maka, Kali Elo adalah perempuan, dan Kali Progo adalah laki-laki. Pertemuan mereka di selatan kedua candi adalah suatu physical intercourse, begitu makna simbolik mengartikannya. Dan, Borobudurlah, buah kasih mereka.
Adalah Nieuwenkamp, arsitek dan etnolog Belanda masa lalu, yang mengajukan tesis bahwa Borobudur dulunya dibangun di tengah-tengah danau, pada sebuah pulau. Tesisnya hanya didasarkan kepada bentuk arsitektur Borobudur yang mirip teratai dan bunganya. Sebuah tesis yang mengejutkan, tetapi dibenarkan oleh penelitian dua geolog Belanda ternama masa lalu: L.M.R Rutten dan R.W. van Bemmelen. Mereka menyebut bahwa di dataran tinggi Kedu, di mana Borobudur dibangun, terdapat beberapa danau yang sekarang mengering. Nieuwenkamp dan para geolog Belanda saat itu, tahun 1937 mengadakan penelitian besar keberadaan Danau Borobudur ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa memang pernah ada danau dengan ketinggian muka air 235 meter dpl, dan Borobudur dibangun di tengah2nya.
Apa makna simbolik tesis danau Borobudur ? Borobudur adalah janin yang mengambang di tengah air ketuban rahim, hasil seksualitas Pawon dan Mendut. Borobudur memuat sekaligus dua ajaran: Budhisme dan ajaran kepercayaan Jawa Kuno tentang keterjelmaan manusia.
Begitulah "dichtung und wahrheit" tentang Borobudur.
Kalau mengunjungi Borobudur, kunjungilah candi ini dengan cara yang benar, yaitu ”puradaksina”. Mulailah dari lantai 1 tangga timur, dan putarilah reliefnya dari kanan ke kiri, memutar searah jarum jam, selesai satu putaran, naiklah ke lantai 2 via tangga timur itu dan putari lagi searah jarum jam, begitu seterusnya sampai 10 tingkat Borobudur selesai, sebab Borobudur adalah : "Bhumisambharabudhara" (bukit tumpukan kebajikan pada kesepuluh tingkatan-tingkatan) (de Casparis, 1950 - interscripties uit de Cailendra tijd).
Sumber : awangsatyanablog
0 Comments