About Me

header ads

Melintasi Sangkala Di Cekungan Purba



Kemarin, 24 September 2014, mas Yoan, seorang text editor National Geographic Indonesia mengirimkan e-mail kepada saya bertanya tentang makna geologi yang mungkin ada untuk tulisan De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, KITLV, terjemahan Grafiti, 2003. Mas Yoan khusus bertanya tentang kemungkinan keberadaan “Selat Muria” di utara Kerajaan Demak.

Tulisan di bawah ini bukan tentang itu, tetapi tentang artikel mas Yoan di National Geographic Traveller edisi November 2013 yang memuat perjalanan singkatnya mengikuti penelitian arkeologi dan geologi di Sangiran, yang juga merupakan perkenalannya dengan saya. Saat itu saya diminta Pak Truman Simanjuntak dari Arkenas untuk membantu penelitian geologi di sana.

Tulisan berikut adalah pembuka artikelnya, yang kebetulan dikirimkan kepada saya file-nya kemarin. Saya jadi ingat lagi, sambil merenung…saya ini siapa, resminya seorang birokrat di SKK Migas, tetapi pekerjaan saya sehari-hari jauh dari birokrasi, pekerjaan saya adalah “hard core geology”, jadi saya selalu memanggil diri: geologist Indonesia…

NATIONAL GEOGRAPHIC TRAVELLER (November 2013)
“Melintasi Sangkala di Cekungan Purba”
Perjalanan merunut kembali awal sejarah peradaban manusia di situs keramat warisan dunia.

Teks dan foto oleh Mahandis Y. Thamrin
Seolah dalam kabin mesin waktu, saya terpelanting jauh ke masa seratusan hingga ribuan milenium silam. Beruntunglah, saya tidak sendiri. Bersama arkeolog dan geolog senior papan atas, saya menyusuri Sangiran, Jawa Tengah. Di sinilah, cekungan raksasa yang menyingkap sebuah pusat evolusi manusia dan peradaban terpenting di dunia. Dan, kami mengencani fosil-fosilnya!

Hari itu Awang Harun Satyana mengenakan topi krem, berbusana kemeja lapangan warna zaitun gelap, dan bertas pinggang hitam. Awang membungkukkan badannya ke tepi sebuah kolam mata air di lembah persawahan yang mengering. Dengan bertumpu pada kedua lutut, dia mengambil air dengan tangan kanan, lalu mencecapnya. Dia terdiam beberapa saat dan berseru, “Cobalah!”

Beberapa arkeolog dan geolog muda tertegun menyaksikan Awang. Saya yang berdiri di depan Awang pun termangu untuk beberapa saat. Haruskah saya mencoba air itu? Pasalnya, penampakan air kolam itu membuat saya hilang selera. Kolam itu berair keruh dengan gelembung-gelembung gas dan lumut-lumut yang mengambang bak kepulauan Nusantara.

Apalagi dasar kolam itu tanah berlumut juga. Lebarnya sekitar dua-tiga jengkal kaki, dengan kedalaman hanya sejengkal tangan. Di tepinya tampak serakan fosil moluska yang keluar dari lubang kecil bersamaan dengan keluarnya gelembung udara. Sekilas memang seperti comberan limbah cuci piring.

Saya menguatkan nyali untuk mengambil air tepat di atas gelembung dengan tangan seperti yang Awang lakukan, lalu mencicipinya. “Bau belerang. Rasanya asin!” pekik saya.
“Ini air purba,” ujar Awang. “Paling tidak air ini berumur lima juta tahun.”
Lima juta tahun! Saya menelan ludah sembari membayangkan air purba yang melewati kerongkongan saya. Setiap kali melancong memang saya kerap mencicipi kuliner setempat yang mungkin baru diolah pada pagi harinya, namun barusan saya mencicipi sesuatu yang sudah berumur jutaan tahun—semoga saja tidak basi.

Aneh, di lingkungan darat yang jauh dari lautan kita masih menemui air asin. Awang merupakan geolog senior, seorang pribadi sederhana dengan tutur bahasa santun. Bagi para geolog muda, sosoknya kerap dijuluki “Pak Kepsek”—Kepala Sekolah—lantaran kerap memberikan pencerahan bagi juniornya. Geologi merupakan kepakarannya, namun tampaknya dia juga punya minat besar dalam sejarah dan arkeologi.
“Itu semacam bekas pusat erupsi gunung lumpur,” ungkap Awang di tepi kolam.

Sumber : awangsatyanablog

Post a Comment

0 Comments

close